Jumat, 20 November 2009





Jumat, 06 November 2009



PENUTUP DAN SERUAN
Setelah keagungan Dinul Islam menjadi jelas bagi pembaca yang setia, dan bahwasanya Islam adalah satu-satunya jalan keselamatan di sisi Allah subhanahu wata'aala, dan bahwa sesungguhnya masuk Islam itu wajib atas setiap orang, maka ini adalah seruan untuk pembaca agar masuk agama (din) Islam. Pembaca boleh bertanya tentang teknis masuk Islam. Dan jawabannya adalah bahwa sesungguhnya seseorang itu masuk Islam dengan fitrah dan dasar awal ciptaannya, karena setiap bayi yang lahir di muka bumi ini dilahirkan berdasarkan fitrah, yaitu agama Islam. Setiap orang dilahirkan dalam keadaan telah berikrar dan mengakui Penciptanya, mencintai dan menghadapkan diri kepada-Nya.
Dan apabila ia tetap berada di atas fitrah tersebut, maka pada dasarnya dia adalah seorang muslim dan tidak perlu memperbaharui masuk Islam bila telah berusia baligh dan berakal.
Adapun apabila ia tumbuh di antara kedua orang tua non muslim dan telah menganut agama yang dianut oleh keduanya, atau telah menganut agama apa saja selain Islam, maka ia wajib menanggalkan agamanya yang terdahulu lalu masuk Islam, dengan cara mengu-capkan kesaksian “Bahwasanya tiada yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah”, kemudian dilanjut-kan dengan mempelajari apa-apa yang seharusnya ia lakukan untuk menegakkan syi’ar-syi’ar agamanya (Islam), seperti menegakkan shalat dan hal-hal sebagai-mana telah disebutkan dahulu.
Akhirnya, seruan akhir kami adalah bahwa sesungguhnya segala puji itu adalah milik Allah, Rabb bagi semesta alam, dan semoga shalawat dan salam tetap Dia curahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan segenap para shahabatnya.




RENUNGAN
Setelah menjadi jelas bagi pembaca yang setia melalui tulisan pada lembaran-lembaran terdahulu keagungan Dinul Islam, universalitas dan keadilannya serta betapa mendesaknya kebutuhan manusia kepada Islam, barangkali masih ada unek-unek dan pertanyaan yang terlintas di dalam hati pembaca, seperti:
Apabila Islam dengan sedemikian keagungan, universalitas dan keadilannya, tetapi kenapa kita tidak melihat pemeluknya tidak menjadi bangsa yang terdepan pada abad ini? Dan kenapa kita melihat kebanyakan mereka tidak konsisten bahkan jauh dari tuntunan yang diajarkan Dinul Islam? Lalu, sejauh mana kebenaran tuduhan yang mengatakan bahwasanya Islam adalah agama ekstrim dan teroris?
Jawabnya sangat mudah sekali –Alhamdulillah-, dan itu dilihat dari berbagai aspek:
Sesungguhnya kondisi kaum muslimin pada abad-abad terakhir ini tidak mencerminkan dan tidak dapat dijadikan ukuran bagi hakikat Islam. Adalah suatu kezhaliman dan kepicikan bila menganggap kondisi kaum muslimin pada abad-abad terakhir ini sebagai cermin yang menggambarkan Islam, kemudian menyimpulkan bahwasanya Islam tidak membebaskan mereka dari kehinaan, perpecahan dan kemiskinan. Maka bagi siapa saja yang hendak mengetahui hakikat yang sebenarnya dengan adil dan obyektif maka seharusnya ia melihat Dinul Islam melalui referensi-referensinya yang shahih, yaitu Al-Qur’an Suci dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam (hadits-hadits) serta apa yang dipegang oleh para al-Salaf shalih (pendahulu ummat yang terbaik), dan hendaknya melihat kepada Islam melalui kitab-kitab yang berbicara tentang Islam secara adil dan berdasarkan ilmu, niscaya ia akan mengetahui bahwasanya Islam menyerukan kepada setiap kebaikan dunia dan akhirat, dan bahwasanya Islam mendorong (kita) untuk mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfa’at, dan Islam juga menyerukan agar kita memperteguh kemauan dan persatuan. Kemudian, sesungguhnya penyimpangan-penyimpangan orang-orang yang berintisab kepada Islam (mengaku beragama Islam), sedikit ataupun banyak tidak bisa, dengan alasan apapun dan dengan serta-merta, menyalahkan Dinul Islam atau mencelanya karena hal tersebut, karena Islam suci dan bersih dari semua itu dan sebab-sebab penyimpangan semuanya kembali kepada diri mereka yang menyimpang, sebab Islam tidak mengajarkan yang demikian; Islam melarang mereka dan mengancam mereka dari penyimpangan dan perbuatan mengabaikan ajarannya.
Kemudian, sesungguhnya keadilan itu sendiri menuntut dan mengharuskan agar (kita) melihat kepada kondisi orang-orang yang konsisten kepada Dinul Islam dengan sebenar-benarnya, kondisi orang-orang yang melaksanakan perintah dan ketentuan-ketentuannya terhadap diri mereka dan orang lain, karena yang demikian berarti meng-hargai dan menghormati Dinul Islam ini dan para pemeluknya. Islam sama sekali tidak mengabaikan perkara sekecil atau sebesar apapun jua, berupa bimbingan dan pengarahan melainkan diperintah-kannya, dan tidak pula mengabaikan suatu kehi-naan atau hal yang dapat menimbulkan kerusakan melainkan Islam mencegah dan menutup rapat pintunya. Maka dari itu, orang-orang yang mengagungkan kedudukan Islam dan mereka yang menegakkan syi’ar-syi’arnya berada pada level moral yang paling tinggi, berkepribadian luhur dan berakhlak mulia, yang diakui oleh orang dekat ataupun jauh dan oleh orang yang setuju ataupun penentang.
Adapun hanya sekedar memperhatikan kondisi kaum muslimin yang mengabaikan ajaran agamanya yang melenceng dari jalannya yang lurus, sama sekali tidak adil, bahkan itu benar-benar kezhaliman.
Sesungguhnya ketertinggalan kaum muslimin disebabkan karena mereka menjauh dari agamanya. Kaum muslimin tidak tertingggal dan belum terting-gal dari bahtera peradaban dan mereka tidak terpecah belah serta tidak menjadi hina kecuali di kala mereka mengabaikan ajaran agamanya sendiri dan mereka lupa kepada sebagian besar dari apa yang telah diajarkan kepada mereka.
Islam adalah agama kemajuan dan perkem-bangan. Dan ketika kaum muslimin berpegang teguh kepada agamanya dengan sebenar-benarnya, maka semua bangsa-bangsa yang ada di muka bumi tunduk kepada mereka dalam kurun waktu yang sangat panjang, dan di sana mereka mengibarkan panji hikmah, keadilan dan ilmu pengetahuan.
Tidakkah bangsa-bangsa di muka bumi ini maju dan mengalahkan bangsa-bangsa lainnya dalam industri dan penemuan-penemuan yang sangat menakjubkan melainkan setelah akal mereka tercerahi oleh ilmu pengetahuan kaum muslimin sesudah Perang Salib. Bukankah bangsa-bangsa tersebut berada di dalam kurun yang mereka sebut dengan abad kegelapan di dalam dasar kebodohan dan Barbarianisme?
Bukankah kaum muslimin pada saat itu menjadi pemimpin dunia?!
Bukankah peradaban Islam merupakan peradaban gemilang yang sesungguhnya yang ruhnya adalah din (agama), keadilan dan kasih sayang, hingga naungan dan kebaikannya yang menyebar meliputi seluruh manusia hingga penentang dan musuh-musuhnya sekalipun? Maka apakah agama yang benar ini menjadikan kaum muslimin tertinggal?! Apakah agama Islam ini telah menjadi penghalang bagi mereka dari kemajuan yang hakiki?! Apakah kekafiran orang-orang kafir di masa kegelapan panjang mereka berguna bagi mereka di saat mereka hina lagi terabaikan?!
Kemudian, setelah kaum muslimin lalai dalam berpegang kepada agamanya dan tidak lagi mela-kukan sebab-sebab yang dapat menghantarkan mereka kepada kebaikan dunia dan akhirat, maka mereka dilanda oleh kehancuran dan kebinasaan.
Kemudian, sesungguhnya kemajuan materil itu sendiri tidaklah cukup, ia harus disertai dengan agama yang hak yang selalu mensucikan jiwa dan meninggikan moral dan akhlak. Cobalah perhatikan bangsa-bangsa kafir pada abad ini, setelah mereka maju di bidang ilmu pengetahuan materi dan mengabaikan aspek spiritual, anda lihat mereka tergelimang di dalam dekadensi dan kesesatan. Maka apakah peradaban materil yang telah mereka raih itu telah berguna bagi mereka sedikitpun?!
Tidakkah peradaban mereka dibangun di atas kezhaliman, kerakusan, kesewenang-wenangan, perbudakan dan mencengkram bangsa-bangsa yang lemah?
Tidakkah pengkhianatan, pencurian, bunuh diri, pembunuhan dan berbagai penyakit jiwa, sex dan lain-lain tersebar di kalangan mereka?!
Ini semua adalah bukti terbesar bahwasanya kemajuan materi akan berakibat buruk terhadap ahlinya apabila kosong dari agama yang hak yang padahal dengannya akan menyerap cahaya, jiwa menjadi bersih lagi suci.
Sesungguhnya tuduhan yang mengatakan bahwasanya Islam adalah agama ekstrim dan teroris adalah tuduhan yang ditolak dan tidak benar. Ini adalah murni berbuatan dusta dan mengada-ada, dan merupakan suatu upaya untuk menghalang-halangi (orang lain) menganutnya. Karena Islam adalah Dinurrahmah (agama kasih-sayang), lembut dan agama toleransi. Pedang terhunus di medan peperangan fisabillah yang diperintahkan Allah itu tidak ubahnya seperti alat bedah seorang dokter yang ia gunakan untuk membedah jasad pasien agar darah kotornya keluar hingga pasien dapat diselamatkan. Jihad di dalam Islam sama sekali tidak bertujuan penumpahan darah dan merenggut nyawa manusia. Sesungguhnya tujuannya adalah menegakkan Kalimatullah, menyelamatkan kemanusiaan dari penghambaan dan peribadatan kepada manusia dan menunjukkan mereka kepada peribadatan dan penghambaan kepada Rabb (Tuhan) mereka, agar mereka dapat hidup dengan mulia.
Ummat Islam adalah sebaik-baik ummat yang dilahirkan ke dunia dan merupakan sebaik-baik ummat yang berjihad di jalan Allah hingga meraih kemenangan lalu berbelas-kasih, berkuasa dengan adil dan memimpin dunia lalu melepaskan kebebasan dari belenggunya maka terpancarlah sumber-sumber hikmah sesudah sebelumnya kering.
Tanyakanlah kepada sejarah, karena ia telah dipenuhi oleh pelita yang memancarkan cahaya yang dapat menerangi orang-orang buta dan menyinari dunia sebagaimana planet-planet menembus kegelapan di langit.
Lalu (tanyakan pula) apa yang telah dilakukan kaum muslimin terhadap musuh-musuh mereka dikala mereka meraih kemenangan? Apakah mereka takabbur, berkuasa semena-mena dan bertindak anarkhis? Dan apakah mereka menodai kehormatan, membunuh orang-orang jompo, kaum wanita dan anak-anak?
Apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam ketika menang melawan musuh-musuhnya yang sebelumnya telah menyakitinya dengan kejam lagi sadis? Tidakkah Nabi shallallahu ‘alahi wasallam mema’afkan mereka dan memberikan harta kekayaan dan sabyi (wanita-wanita tawanan) kepada mereka?
Dan apa pula yang dilakukan kaum muslimin, ketika mereka menang melawan Kisra dan Kaisar Romawi? Apakah mereka melakukan pengkhianatan dan tipu muslihat? Apakah mereka mengganggu kaum wanita? Dan apakah mereka berbuat buruk terhadap para rahib dan pendeta yang berada di dalam biara-biara? Apakah mereka melakukan tindak kerusakan di muka bumi? Apakah mereka menghancurkan rumah-rumah dan merobohkan pohon-pohonan?!
Apa yang dilakukan oleh Shalahuddin Al-Ayyubiy di kala menang melawan kaum salibis yang telah melakukan berbagai tindak kekejian terhadap kaum muslimin dan menyiksa mereka secara kejam?! Apa yang dilakukan oleh Shalahuddin terhadap mereka sesudah kemenangannya terhadap mereka?! Bukankah ia mema’afkan panglima mereka, mengobatinya dan membebaskan tawanannya?!
Tindakan-tindakan mulia yang penuh dengan nilai luhur dan yang serupa dengannya sangat banyak tercatat di dalam sejarah muslimin, hal yang mempunyai pengaruh besar di dalam menumbuhkan rasa cinta orang kepada Islam dan masuk memeluk Islam dengan suka hati dan penuh keyakinan.
Apakah non muslimin telah melakukan seperti itu? Apakah Barat telah memberikan contoh seperti itu? Jawabanya adalah apa yang pembaca saksikan dan dengarkan. Perhatikan, dari mana asal Hitler, Mosolini, Linin, Stalin dan para penjahat perang Serbia? Tidakkah Eropa yang telah melahirkan mereka dan banyak lagi setan-setan yang serupa dengannya yang telah melayangkan nyawa berjuta-juta manusia dan menimpakan berbagai malapetaka yang bertubi-tubi terhadap manusia dan kemanusiaan?
Apakah mereka tidak dihitung sebagai para pelopor kebudayaan Eropa? Lalu jika demikian, siapa yang kejam, jahat lagi ganas dan sadis?! Siapa orang-orang ekstrim dan teroris yang sebenarnya?! Lalu siapa mereka yang telah membuat bom nuklir, bom atom, bom kimia, rudal-rudal pemusnah massa dan senjata-senjata berat penghancur itu!?
Siapakah yang telah mencemari udara dengan cerobong-cerobong pabrik dan sungai-sungai dengan berbagai pencemaran dan perusak? Siapa yang menempuh berbagai cara-cara keji yang sama sekali jauh dari keadilan dan kemuliaan permusuhan.
Siapa yang membuat wanita menjadi mandul? dan merampas (memeras) kekayaan dan kebebasan bangsa-bangsa lain?
Siapa yang telah menaburkan dan menyebarluaskan penyakit AIDS? Tidakkah orang-orang Barat dan orang-orang yang sejalan dengan mereka?!
Siapa yang telah memberikan dukungan kepada kaum Yahudi hingga berada pada puncak kesemena-menaan dan teroris? Itu semua adalah kenyataan yang sangat jelas, dan inilah teroris dan anarkisme.
Adapun jihadnya kaum muslimin untuk merealisasikan kebenaran (al-haq) dan menumpas kebatilan serta untuk membela diri dan negeri mereka adalah bukan tindakan teroris, tetapi itulah keadilan yang sebenarnya.
Sedangkan kesalahan yang terjadi dari sebagian kaum muslimin di dalam menempuh jalan hikmah dan keadilan adalah sedikit sekali dibandingkan dengan kekejaman orang-orang Barat, dan kesalahan itu pun kembali kepada diri orang yang salah dalam menempuh jalan hikmah, tidak kembali kepada agama atau kepada kaum muslimin.
Dan kadang ada beberapa hal yang menyebabkan mereka (sebagian kaum muslimin) melakukan kesalahan pada saat-saat tertentu, seperti kezhaliman kaum kufar terhadap mereka, kadang melahirkan tindakan kurang sehat dari sebagian kaum muslimin.
Demikianlah seharusnya sikap yang harus ditempuh oleh orang yang berakal lagi netral, yaitu melihat kepada semua perkara sebagaimana adanya, jauh dari kezhaliman, pemalsuan dan pandangan sempit.
Sesudah itu semua, jika seseorang mempunyai keheranan (dari sesuatu tentang Islam), maka keheranannya itu berasal dari orang-orang Barat dan Amerika, dimana mereka belum menyingkap dan mengetahui hakikat Dinul Islam menurut apa yang mereka temukan. Padahal hakikat Dinul Islam lebih agung daripada apa yang telah mereka temukan, dan lebih menjamin bagi kebahagiaan yang sebenarnya daripada segala sesuatu yang telah mereka capai. Apakah mereka memang bodoh terhadap hakikat Islam yang sebenarnya?!
Atau sesungguhnya mereka berpura-pura buta (menutup mata) dan menghalang-halangi orang lain dari padanya.


KEDUDUKAN WANITA DALAM ISLAM
Islam benar-benar telah mengangkat harkat dan martabat kaum wanita, memuliakannya dengan kemuliaan yang belum pernah dilakukan oleh agama lain. Wanita di dalam Islam merupakan saudara kembar lelaki; sebaik-baik mereka adalah yang terbaik bagi keluarganya. Wanita muslimah pada masa bayinya mempunyai hak disusui, mendapatkan perhatian dan sebaik-baik pendidikan, dan pada waktu yang sama ia merupakan curahan kebahagiaan dan buah hati bagi kedua ibu dan bapaknya serta saudara-saudara laki-lakinya.
Apabila ia telah memasuki usia remaja, ia dimuliakan dan dihormati. Walinya cemburu karenanya, ia meliputinya dengan penuh perhatian, maka ia tidak rela kalau ada tangan jahil menyentuhnya, atau rayuan-rayuan lidah busuk atau lirikan mata (pria) mengganggunya.
Dan apabila ia menikah maka hal itu dilaksanakan dengan kalimatullah dan perjanjian yang kokoh. Maka ia tinggal di rumah suami dengan pendamping setia dan kehormatan yang terpelihara, suami berkewajiban menghargai dan berbuat baik (ihsan) kepadanya dan tidak menyakiti fisik maupun perasaannya.
Apabila ia telah menjadi seorang ibu, maka (perintah) berbakti kepadanya dinyatakan berbarengan dengan hak Allah subhanahu wata'aala, kedurhakaan dan perlakuan buruk terhadapnya selalu diungkapkan berbarengan dengan kesyirikan kepada Allah dan perbuatan kerusakan di muka bumi.
Apabila dia adalah sebagai saudara perempuan, maka dia adalah orang yang diperintahkan kepada saudaranya untuk dijalin hubungan silaturrahim, dimuliakan dan dilindungi.
Apabila dia sebagai bibi, maka kedudukannya sederajat dengan ibu kandung di dalam mendapatkan perlakuan baik dan silaturrahim.
Apabila ia sebagai nenek atau lanjut usianya, maka kedudukan dan nilainya bertambah tinggi di mata anak-anak, cucu-cucunya dan seluruh kerabat dekatnya. Maka permintaannya hampir tidak pernah ditolak dan pendapatnya tidak diremehkan.
Apabila ia jauh dari orang lain, jauh dari kerabat atau pendampingnya maka dia memiliki hak-hak Islam yang umum, seperti menahan diri dari perbuatan buruk terhadapnya, menahan pandangan mata darinya dan lain-lain.
Masyarakat Islam masih tetap memelihara hak-hak tersebut dengan sebaik-baiknya, sehingga wanita benar-benar memiliki nilai dan kedudukan yang tidak akan ditemukan di dalam masyarakat non muslim.
Lebih dari itu, wanita di dalam Islam memiliki hak kepemilikan, penyewaan, jual-beli dan segala bentuk transaksi, dan juga mempunyai hak untuk belajar dan mengajar selagi tidak bertentangan dengan agamanya. Bahkan di antara ilmu syar’i itu ada yang bersifat fardhu ‘ain berdosa bila diabaikan baik oleh laki-laki ataupun perempuan.
Dia juga memiliki hak-hak yang sama dengan kaum laki-laki, kecuali beberapa hak dan hukum yang memang khusus bagi kaum wanita, atau beberapa hak dan hukum yang khusus bagi kaum laki-laki yang layak bagi masing-masing jenis sebagaimana dijelaskan secara rinci di dalam bahasan-bahasannya.
Di antara penghargaan Islam kepada wanita adalah bahwasanya Islam memerintahkan kepadanya hal-hal yang dapat memelihara, menjaga kehormatannya dan melindunginya dari lisan-lisan murahan, pandangan mata pengkhianat dan tangan-tangan jahat. Maka dari itu, Islam memerintahkan kepadanya hijab dan tutup aurat, menghindari berbuatan tabarruj (berhias diri untuk umum), menjauh dari perbauran dengan lelaki yang bukan mahramnya dan dari setiap hal yang dapat menyeret kepada fitnah.
Termasuk penghargaan Islam kepada wanita adalah bahwasanya Islam memerintahkan kepada suami agar menafkahinya, mempergaulinya dengan baik, menghindari perbuatan zhalim dan tindakan menyakiti fisik atau perasaannya.
Bahkan termasuk dari keindahan ajaran Islam adalah bahwasanya Islam memperbolehkan bagi kedua suami-istri untuk berpisah (bercerai) bila tidak ada kesepakatan dan tidak dapat hidup bahagia bersamanya. Maka suami boleh menceraikannya setelah gagal melakukan berbagai upaya ishlah, dan di saat kehidupan keduanya menjadi bagaikan api neraka yang tidak dapat dipertahankan.
Dan Islam memperbolehkan istri meninggalkan suaminya jika suami melakukan penganiayaan terhadap dirinya, memperlakukannya dengan buruk. Maka dalam keadaan seperti itu istri boleh meninggalkannya dengan syarat membayar ganti rugi yang disepakati bersama suami, atau melakukan kesepakatan bersama atas hal tertentu untuk kemudian istri bisa meninggalkannya.
Termasuk penghargaan Islam kepada wanita adalah bahwasanya laki-laki diperbolehkan berpoligami, yaitu nikah lebih dari satu istri. Laki-laki boleh menikah dengan dua, tiga atau empat istri dan tidak boleh lebih dari itu, dengan syarat berlaku adil dalam memberikan nafkah sandang, pangan dan tempat tinggal di antara mereka; dan kalau suami cukup menikah dengan satu istri saja, maka itu adalah haknya.
Itu semua, sesungguhnya berpoligami itu mempunyai hikmah yang sangat besar dan banyak maslahatnya yang tidak diketahui oleh orang-orang yang menjelek-jelekkan Islam, sementara mereka bodoh tidak mengerti hikmah di balik pensyari’atan ajaran-ajarannya. Di antara hal-hal yang mendukung hikmah di balik diperbolehkannya berpoligami adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya Islam melarang perzinahan dan sangat keras dalam mengharamkannya, karena perzinahan dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan yang fatal yang tidak terhitung jumlahnya, yang di antaranya adalah: kaburnya masalah keturunan (nasab), membunuh sifat malu, menodai dan menghapus kemuliaan dan kehormatan wanita; karena zina akan meliputinya dengan kehinaan yang tiada batasnya, bahkan kehinaan dan noda akan menimpa keluarga dan kerabat dekatnya.
Di antara bahaya zina adalah bahwasanya zina merupakan tindakan pelecehan terhadap janin yang diperoleh dari hasil perzinahan, karena ia akan hidup dengan nasab yang terputus, hina lagi tercela.
Termasuk bahaya zina: berbagai penyakit mental dan jasmani yang timbul sebagai akibat dari perbuatan terkutuk itu, yang sulit ditanggulangi, bahkan kadang sampai mengancam jiwa pezina, seperti spilis, gonorhoe, aids dan lain sebaginya.
Ketika Islam mengharamkan zina dan dengan keras mengharamkannya, ia juga membuka lebar pintu yang sah (masyru’) dimana seseorang dapat merasakan ketentraman, kedamaian dan keleluasaan, yaitu nikah. Jadi Islam mengajarkan nikah dan memperbolehkan poligami sebagaimana disinggung di atas.
Tidak diragukan lagi bahwasanya melarang poligami adalah tindakan kezhaliman terhadap laki-laki dan wanita. Melarang poligami akan membuka lebar pintu perzinahan, karena kuantitas kaum wanita lebih besar daripada kuantitas kaum pria di setiap masa dan tempat. Hal itu akan lebih jelas lagi pada masa seringnya terjadi peperangan. Maka membatasi laki-laki menikah dengan satu istri dapat berakibat pada adanya jumlah besar dari kaum wanita yang hidup tanpa suami yang pada gilirannya akan menyebabkan kesulitan, kesempitan dan ketidakpastian bagi mereka, bahkan kadang bisa menjerumuskan mereka ke dalam lembah penjualan kehormatan dan kesucian diri, tersebarnya perzinahan dan kesiasiaan anak keturunan.
Sesungguhnya nikah itu bukan kenikmatan jasadi (fisik) semata, akan tetapi dibalik itu terdapat ketentraman dan kedamaian jiwa, disamping kenikmatan mempunyai anak. Dan anak di dalam Islam tidak seperti anak di dalam sistem-sistem kehidupan buatan lainnya, karena kedua ibu-bapaknya mempunyai hak atas anak. Apabila seorang wanita dikaruniai beberapa anak, lalu ia didik dengan sebaik-baiknya, maka mereka menjadi buah hati dan penghibur baginya. Maka pilihan mana yang terbaik bagi wanita: Hidup di bawah lindungan suami yang melindungi, mendampingi dan memperhatikannya serta dikaruniai anak-anak yang bila dididik dengan baik akan menjadi buah dan penghibur hati baginya, atau memilih hidup sebatang kara dengan nasib tiada menentu lagi terpontang-panting kesana-kemari?!
Sesungguhnya pandangan Islam adalah pandangan yang adil lagi seimbang.
Islam memandang kepada wanita secara keseluruhan dengan adil, dan pandangan yang adil itu mengatakan bahwa sesungguhnya harus memandang kepada wanita secara keseluruhan dengan mata keadilan.
Bila begitu, lalu apa dosa wanita-wanita ‘awanis (membujang hingga lewat usia nikah) yang tidak punya suami? Kenapa tidak dilihat dengan mata yang penuh kasih sayang kepada wanita menjanda karena ditinggal mati suaminya, sedangkan ia masih pada usia produktif? Kenapa tidak melihat dan memperhatikan kepada wanita yang sangat banyak jumlahnya yang hidup tanpa suami?!
Yang mana yang lebih baik bagi wanita: Hidup dengan senang di bawah lindungan suami bersama wanita (istri, madu) yang lain, hingga dengan begitu ia merasakan kedamaian dan ketentraman jiwa, ia temukan orang yang memperhatikannya dan mendapat karunia anak karenanya, ataukah hidup seorang diri tanpa suami sama sekali?!
Mana yang lebih baik bagi masyarakat: Adanya sebagian kaum pria yang berpoligami hingga masyarakat terhindar dari beban gadis-gadis tua (‘anusah), atau tidak seorangpun berpoligami, hingga mengakibatkan masyarakat berlumur dengan berbagai kehancuran dan kerusakan?!
Yang mana yang lebih baik: Seseorang mempunyai dua, tiga atau empat istri? Atau cukup dengan satu istri saja dengan puluhan wanita simpanan di balik itu semua?!
Berpoligami itu tidak wajib hukumnya. Maka dari itu banyak laki-laki muslim yang tidak melakukan poligami karena merasa puas dengan satu istri, dan karena ia merasa tidak akan dapat berlaku adil (bila berpoligami). Oleh karena itu, ia tidak perlu berpoligami.
Sesungguhnya tabi’at dan naluri kaum wanita itu sangat berbeda dengan tabiat dan naluri kaum pria; hal itu bila dilihat dari sudut kesiapannya untuk digauli. Wanita tidak selalu siap untuk digauli pada setiap waktu, karena wanita harus melalui masa bulanannya (menstruasi) hingga sampai sepuluh hari atau dua minggu pada setiap bulannya yang menjadi penghalang untuk digauli.
Pada masa nifas juga ada penghalang hingga biasanya mencapai 40 hari. Melakukan hubungan suami-istri (hubungan intim) pada kedua masa tersebut dilarang secara syar’i, karena banyak mengandung resiko yang membahayakan yang sudah tidak diragukan lagi.
Pada masa kehamilan, kesiapan wanita untuk dicampuri suaminya kadang melemah. Dan demikian selanjutnya.
Sedangkan kaum laki-laki kesiapannya selalu stabil sepanjang bulan dan tahun (waktu) dan ada sebagian laki-laki yang jika dihalanghalangi untuk berpoligami akan terjerumus ke dalam perzinahan.
Adakalanya sang istri mandul tidak dapat menurunkan anak, hingga suami tidak dapat menikmati bagaimana punya anak. Daripada ia menceraikan istrinya lebih baik ia menikah lagi dengan wanita lain yang subur.
Mungkin ada yang bertanya; Apabila suami mandul sedangkan istri normal, apakah istri mempunyai hak untuk berpisah? Jawabnya: Ya, ia berhak untuk itu jika meng-hendakinya.
Adakalanya istri mengidap penyakit tahunan, seperti lumpuh atau lainnya sehingga tidak mampu melakukan tugas mendampingi suami. Maka daripada menceraikannya, lebih baik tetap bersa-manya dan menikah lagi dengan wanita yang lain.
Adakalanya tingkah laku istri buruk: Seperti berperangai jahat, berakhlak buruk (tidak bermoral) tidak menjaga hak-hak suaminya. Dari pada menceraikannya lebih baik tetap bersamanya dan menikah dengan wanita yang lain lagi sebagai penghargaan kepada istri pertama dan menjaga hak-hak keluarganya serta menjaga kemaslahatan anak-anak jika telah punya anak darinya.
Sesungguhnya kemampuan laki-laki untuk menu-runkan keturunan (produktifitas) lebih besar dari-pada kemampuan wanita. Laki-laki dapat menurun-kan anak hingga usia enam puluhan, bahkan kadang sampai pada usia seratus ia tetap masih segar dan mampu menurunkan anak.
Sedangkan kemampuan wanita rata-rata berhenti sampai usia empat puluhan atau lebih sedikit. Maka mencegah poligami adalah perbuatan menghalangi umat dari keturunan.
Di dalam pernikahan dengan istri kedua terdapat kesenggangan waktu bagi istri pertama. Istri mempunyai peluang waktu untuk sedikit beristirahat dari beban-beban tugas melayani suami, karena telah ada orang yang membantunya dan mengambil sebagian tugas melaksanakan beban melayani suami.
Maka dari itu, ada sebagian wanita-wanita yang berakal, apabila telah memasuki usia lanjut dan kurang mampu memberikan yang terbaik untuk suaminya mereka memberi isyarat agar suami menikah lagi.
Mencari pahala. Adakalanya seseorang menikah lagi dengan wanita miskin yang tidak mempunyai penanggung beban hidupnya, ia menikahinya dengan maksud untuk menyelamatkan kesucian dan memberikan perlindungan kepadanya, dengan harapan mendapat pahala dari Allah subhanahu wata'aala.
Sesungguhnya yang memperbolehkan berpoligami itu adalah Allah subhanahu wata'aala yang sudah barang tentu lebih mengetahui maslahat-maslahat hamba-hamba-Nya lagi lebih belas kasih terhadap mereka dari pada mereka terhadap diri mereka sendiri.
Dengan demikian jelaslah bagi kita hikmah Islam dan universalitas pandangannya di dalam memperbolehkan poligami, dan sekaligus menjadi jelas pula kebodohan orang-orang yang mencela ajaran-ajaran Islam.
Di antara penghargaan Islam kepada wanita adalah bahwasanya Islam menetapkan bagian khusus bagi wanita dari harta warisan. Maka seorang ibu mendapat bagian tertentu, istri, putri dan saudara perempuan pun masing-masing mendapat bagian tertentu, sebagaimana dijelaskan dalam kitab yang membahasnya.
Adalah merupakan kesempurnaan keadilan bahwasanya Islam menetapkan bagian untuk wanita adalah separuh dari bagian laki-laki dari harta warisan. Barangkali ada sebagian orang-orang yang picik akalnya mengira bahwa pembagian tersebut merupakan kezhaliman (tidak adil), dengan mengatakan: Bagaimana bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan dari harta warisan?
Kenapa bagian anak perempuan separo dari bagian anak laki-laki? Jawabnya adalah: Bahwa sesungguhnya yang memberikan ketetapan demikian itu adalah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui tentang maslahat-maslahat para hamba-Nya.
Kemudian, di mana letak kezhalimannya?! Sesungguhnya sistem (hukum) Islam itu integral dan saling berkaitan. Maka bukan bagian dari keadilan bila hanya mengambil satu sistem atau satu ketetapan hukum (tasyri’) lalu memandangnya dari satu sudut tanpa mengkaitkannya dengan bagian lainnya, akan tetapi seharusnya melihatnya dari berbagai sudut, sehingga gambaran menjadi jelas dan keputusan menjadi lurus.
Hal yang menampakkan keadilan Islam di dalam masalah ini adalah bahwasanya Islam menjadikan nafkah istri itu sebagai kewajiban suami dan demikian pula halnya mahar untuk istri adalah kewajiban suami pula.
Sebagai contoh, kalau kiranya ada seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Maka anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian saudara perempuannya (2:1), lalu masing-masing mengambil bagiannya, kemudian masing-masing menikah. Pada saat menikah, anak laki-laki itu harus membayar mahar, menyediakan tempat tinggal, memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya sepanjang hayatnya.
Sedangkan saudara perempuan akan mendapat mahar dari suaminya dan tidak dituntut untuk membe-rikan sedikitpun dari hak miliknya untuk diserahkan kepada suami, atau menafkahi urusan rumah tang-ganya, ataupun kepada anak-anaknya. Maka dengan demikian, saudara perempuan dapat menghimpun bagian dari harta warisan dari ayahnya dengan mahar yang ia peroleh dari suami, dan bersamaan dengan itu ia tidak dituntut untuk menafkahi diri dan anak-anaknya.
Jika demikian, tidakkah adil jika laki-laki men-dapat dua kali lipat dari bahagian anak perempuan?!!
Inilah kedudukan, harkat dan martabat wanita dalam Islam; lalu dimana nilai dan derajat sistem-sistem buatan yang ada di muka bumi dibanding sistem-sistem Islam yang samawi lagi adil. Sistem-sistem buatan yang ada di muka bumi ini tidak memperhatikan harkat dan martabat kaum wanita, di mana seorang ayah mele-paskan diri dari anak perempuannya ketika mencapai usia delapan belas tahun atau kurang, agar sang putri keluar dengan nasib tiada menentu mencari tempat tinggal dan sesuap nasi untuk memenuhi rasa laparnya, yang terkadang hal itu sampai pada mengorbankan dan menjual kehormatan dan kemuliaan akhlak.
Bandingkanlah penghargaan Islam terhadap wanita yang telah menjadikannya sebagai manusia yang mulia daripada sistem-sistem yang memandang wanita sebagai sumber kejahatan dan dosa, sistem yang telah merampas hak-haknya di dalam kepemilikan dan tanggung jawab dan menjadikan wanita hidup berlumur kehinaan dan kenistaan serta menganggapnya sebagai makhluk najis?! Dan mana bandingan penghargaan Islam kepada wanita daripada orang-orang yang menjadikan wanita sebagai barang dagangan yang memperjual-belikan jasadnya di dalam berbagai promosi bisnis dan iklan?!
Mana bandingan penghargaan Islam kepada wanita daripada sistem-sistem yang menganggap perkawinan sebagai transaksi jual-beli dimana istri berpindah supaya menjadi salah satu dari harta kekayaan suami? Hingga sebagian pertemuan mereka yang diselenggarakan untuk mengkaji hakikat dan ruh wanita, apakah ia termasuk manusia atau bukan?!
Demikianlah kita melihat bahwasanya wanita muslimah merasakan kebahagiaan di dunianya bersama keluarga, di bawah asuhan kedua orang tuanya, di bawah perlindungan suaminya dan balas budi anak-anaknya, apakah itu ketika ia di masa anak-anak, remaja atau di masa lanjut usia, dan di dalam kondisi fakir maupun kaya dan sehat ataupun sakit.
Kalau terdapat kejanggalan dalam hak-hak wanita yang terdapat di sebagian negeri kaum muslimin, atau dari sebagian orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam, maka semua itu terjadi karena keteledoran dan kebodohan mereka serta karena jauh dari penerapan ajaran Islam. Kesalahan dan dosa ditanggung oleh orang yang bersalah, sedangkan Islam bersih dan bebas dari tanggung jawab kelemahan tersebut. Penanggulangan kesalahan tersebut hanya dapat dilakukan dengan kembali kepada petunjuk dan ajaran Islam, supaya kesalahan dapat terbenahi.
Inilah kedudukan, harkat dan martabat wanita di dalam Islam secara singkat: kesucian diri, perlindungan, kasih sayang, cinta dan perhatian serta berbagai macam nilai-nilai luhur lainnya.
Adapun peradaban sekarang hampir tidak mengenal sedikitpun dari nilai-nilai luhur tersebut, ia hanya memandang wanita dengan pandangan materialis murni. Peradaban modern memandang bahwasanya hijab wanita dan kesucian dirinya sebagai ketertinggalan dan keterbelakangan, dan bahwasanya wanita harus menjadi boneka yang dapat dipermainkan oleh setiap laki-laki mata keranjang, dan itulah rahasia kebahagiaan menurut mereka.
Mereka tidak menyadari bahwasanya tabarruj dan telanjangnya kaum wanita adalah sebab dari kesengsaraan dan siksaannya.
Karena jika tidak, lalu apa hubungan kemajuan dan pengajaran dengan tabarruj, penampakan anggota-anggota badan wanita yang penuh dengan fitnah, show kecantikan, buka dada, paha dan hal yang lebih dahsyat dari itu?!
Apakah memakai pakaian span, tembus pandang dan pendek itu bagian dari alat-alat peraga pendidikan dan pengajaran?!
Kemudian, kemuliaan yang mana ketika foto-foto wanita-wanita cantik ditampilkan di dalam iklan-iklan dan berbagai promosi?
Kenapa yang laris di kalangan mereka hanya wanita-wanita cantik saja? Lalu apabila kecantikan dan keindahannya itu sudah sirna mereka diabaikan dan dicampakkan bagaikan barang yang sudah kadalursa!?
Lalu apa bagian wanita-wanita yang kurang cantik dari peradaban modern ini!? Apa bagian ibu yang lanjut usia, nenek dan wanita-wanita jompo?!
Sesungguhnya bagian mereka yang paling baik (menurut peradaban modern) adalah ditempatkan di tempat-tempat penampungan dan panti-panti jompo dimana mereka di sana tidak diziarahi dan tidak juga ditanya tentang keadaannya.
Memang ada di antaranya yang mendapat gaji pensiunan atau yang serupa dengannya yang mereka habiskan hingga tutup usia, tetapi di sana tidak ada hubungan silaturrahim, tidak ada kerabat dekat dan tidak pula teman setia.
Adapun wanita di dalam Islam, semakin lanjut usia mereka semakin dihormati, semakin besar pula hak mereka dan semakin berlomba-lomba anak-anak dan kerabat dekatnya untuk berbuat yang terbaik kepada mereka –sebagaimana dikemukakan di atas- karena mereka telah selesai melakukan tugasnya, dan yang tersisa adalah kewajiban anak-anak, cucu, keluarga dan masyarakat terhadap mereka.
Sedangkan tuduhan dan anggapan bahwa hijab dan menjaga kesucian diri itu sebagai ketertinggalan dan keterbelakangan adalah tuduhan dan anggapan batil lagi palsu. Sesungguhnya tabarruj dan pamer kecantikan itulah sebenarnya kesengsaraan dan azab, dan itulah keterbelakangan yang sebenarnya. Bila pembaca ingin dalilnya bahwa tabarruj dan pamer kecantikan adalah keterbelakangan, maka perhatikanlah dekadensi moral manusia yang tampak pada orang-orang hina bugil yang serba telanjang, mereka yang hidup di dalam berbagai kenistaan yang mirip dengan keadaan hewan. Maka sesungguhnya mereka tidak berjalan menuju tangga-tangga kebudayaan dan peradaban kecuali sesudah mengenakan pakaian.
Orang yang memperhatikan dan mengikuti kondisi mereka di dalam kemajuannya dapat melihat bahwa sesungguhnya setiap kali mereka meraih suatu kemajuan di dalam peradaban, semakin bertambah pula prosentasi wanita-wanita telanjang, sebagaimana tampak bahwasanya peradaban Barat sedang berada di jalan menuju kehancurannya, mundur ke belakang selangkah demi selangkah, hingga berakhir kepada telanjang bulat di kota-kota orang-orang telanjang yang semakin luas sesudah perang dunia pertama. Kemudian penyakit itu makin dan bertambah serius di dalam tahun-tahun terakhir ini.
Demikianlah menjadi lebih jelas bagi kita betapa keagungan kedudukan, harkat dan martabat wanita di dalam Islam dan betapa lenyapnya kedudukan dan martabat itu apabila wanita menjauh dari Islam.


IBADAH DALAM ISLAM
Definisi ibadah: Ibadah dalam Islam adalah mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata'aala dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Ibadah meliputi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan lahir dan batin.
Ruh, inti dan substansi ibadah adalah mewujudkan dan merealisasikan kecintaan dan kepatuhan kepada Allah subhanahu wata'aala.
Syarat-syarat ibadah: Ibadah tidak akan diterima kecuali jika terpenuhi dua syarat, yaitu:
Ikhlas karena Allah semata
Mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam.
Maksudnya adalah ibadah yang dilakukan itu harus murni dipersembahkan kepada Allah, dan harus sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam. Jadi, tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah semata dan tidak beribadah kecuali dengan cara yang telah disyari’atkan-Nya.
Shalat, umpamanya, adalah ibadah yang tidak boleh dipersembahkan kecuali hanya kepada Allah. Maksudnya kita tidak melakukan shalat kecuali karena Allah semata. Maka dengan demikian terealisasilah keikhlasan.
Dan kita tidak melakukan shalat kecuali berdasarkan kaifiah (tata cara) yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam. Maka dengan demikian kesesuaian dan mencontoh (mutaba’ah) Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam terealisasikan.
Seseorang boleh bertanya: “Apa hikmah dibalik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?” Jawabnya adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya Allah memerintahkan keikhlasan ibadah kepada-Nya semata. Maka beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah telah berfirman: “Dan beribadahlah kamu kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan tunduk”.
Sesungguhnya Allah subhanahu wata'aala yang mempunyi hak dan wewenang mentasyri’ (memerintah dan melarang). Hak tasyri’ adalah hak-Nya semata. Maka barang siapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka ia berarti telah melibatkan dirinya di dalam tasyri’.
Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita. Maka orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, maka berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).
Dan sekiranya boleh bagi setiap orang beribadah dengan cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupa manusia adalah kekacauan yang tiada taranya, karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama mengajarkan kebersamaan dan kesatuan.
Macam-macam ibadah:
Macam-macam ibadah itu sangat banyak, seperti shalat, zakat, puasa, haji, berbakti kepada ibu dan bapak, silaturrahim, berkata jujur, menyampaikan amanat, menunaikan janji, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, menyingkirkan hal-hal yang mengganggu dari jalan, berbuat baik kepada anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, kepada hewan dan lain-lainnya.
Termasuk macam ibadah adalah dzikir, do’a, memohon perlindungan kepada Allah, meminta pertolongan kepada-Nya, bertawakkal kepada-Nya, bertau-bat dan memohon ampun.
Termasuk juga: sabar, bersyukur, rela (ridha), takut, mencintai, mengharapkan dan malu kepada-Nya.
Keutamaan ibadah:
Ibadah di dalam Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, karenanya lah Allah menciptakan manusia (makhluk), mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang enggan melakukannya dicela.
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemaslahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya.
Di antara keutamaan ibadah adalah bahwasanya ibadah itu mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.
Termasuk keutamaan ibadah juga adalah bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, faqir kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh membutuhkan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar dari pada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan substansi hamba itu adalah hati dan ruhnya; keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasa kedamaian dan ketentraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Kalau sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.
Adapun bahagia karena Allah dan perasaan jinak kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti atau hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka barang siapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendak lah ia menekuni penghambaan (ibadah) kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejati lah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.
Dan tidak ada yang dapat menentramkan dan mendamaikan dan menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata.
Termasuk keutamaan ibadah adalah: Sesungguhnya ibadah itu dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan kebaikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang di kala dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan dikala susah dan meringankan rasa sakit; semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.
Termasuk keutamaannya juga adalah bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabbnya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar.
Keutamaan ibadah yang paling besar adalah bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah subhanahu wata'aala, masuk surga dan selamat dari siksa neraka.


KEENAM: BERIMAN KEPADA TAQDIR (Qada dan Qadar)
Taqdir adalah ketetapan Allah terhadap alam semesta menurut ilmu dan tuntutan hikmah-Nya.
Taqdir adalah ilmu Allah akan segala sesuatu, pencatatannya dan kehendak (masyi’ah)-Nya, dan penciptaannya terhadap segala sesuatu tersebut.
Makna iman kepada taqdir ialah beriman dan meyakini seyakin-yakinnya bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang sedang, dan akan terjadi; dan bahwasanya apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, dan bahwa sesungguhnya Allah telah mencatat taqdir semua makhluk. Maka tidak ada sesuatu apapun yang terjadi melainkan berdasarkan ilmu, catatan, kehendak dan ciptaan-Nya.
Dan beriman bahwa sesungguhnya apa yang akan menimpa kita tidak mungkin meleset dan sesuatu yang ditakdirkan tidak mengenai kita tidak akan menimpa kita.
Dan bersamaan dengan itu, kita beriman bahwasanya Allah memerintahkan untuk taat kepada-Nya dan melarang kedurhakaan kepada-Nya. Maka kita lakukan ketaatan dengan harapan pahala dari Allah dan kita tinggalkan kedurhakaan (kemaksiatan) karena khawatir akan hukuman-Nya. Bila kita telah berbuat kebajikan, kita puji Allah dan bila kita terlanjur berbuat dosa, segera minta ampun kepada-Nya.
Termasuk kesempurnaan beriman kepada taqdir adalah menjalani sebab-musabab yang dapat mengantar kita kepada cita-cita, berupaya didalam meraih kepentingan-kepentingan duniawi, menempuh cara-cara yang benar (shahih) yang dapat mengantarkan kepada kepentingan dunia tersebut, seperti melakukan perja-lanan jauh untuk kepentingan usaha dan berusaha untuk mendapat rizki. Dan jika semua usaha yang dilakukan membuahkan hasil seperti apa yang dikehendaki maka kita bersyukur dan memuji kepada Allah, dan jika sebaliknya maka kita menghibur diri dengan taqdir Allah.
Iman kepada taqdir seperti yang diungkapkan di atas dapat membuahkan ketentraman hati, kedamaian dan kelapangan jiwa, tidak mengeluh karena apa yang terjadi, menumbuhkan keberanian dan pantang mundur bagi kita, tidak berputus asa dan kekuatan menanggung beban cobaan.
Maka dari itu, orang-orang yang beriman kepada qadha dan qadar merasakan ketentraman dan kedamaian (jiwa) yang tidak dirasakan oleh mereka yang tidak beriman kepada qadha dan taqdir Allah.
Oleh sebab itu, tersebar kejadian bunuh diri di negeri-negeri kafir yang penduduknya tidak beriman kepada Allah dan taqdir-Nya; dan anda lihat mereka tidak sanggup menanggung beban derita musibah ringan yang menimpa mereka.
Adapun orang-orang yang beriman kepada qadar, kamu hampir tidak menemukan prosentase bunuh diri di kalangan mereka, hal itu disebabkan karena sesungguhnya mereka beriman dan meyakini bahwasanya apa yang menimpa mereka sesungguhnya berdasarkan qadha dan taqdir dari Allah, dan mereka beriman bahwasanya Allah tidak mentaqdirkan bagi orang beriman kecuali kebaikan dan yang terbaik baginya, hingga sekalipun qadha (taqdir) tersebut terasa pahit, akan tetapi akibatnya terpuji bagi orang beriman selagi ia rela terhadap taqdir Allah tersebut.




KELIMA: BERIMAN KEPADA HARI KEMUDIAN
Al-Yaum Al-Akhir (hari Kemudian) ialah hari kiamat, dimana pada hari itu Allah membangkitkan (menghidupkan) manusia kembali untuk dihisab dan diberikan balasan. Dinamakan hari Kemudian karena tidak ada hari sesudah itu, dimana ahli surga menetap di dalam istana-istananya di surga dan ahli neraka menetap di dalam penjara-penjara api neraka.
Makna beriman kepada hari Kemudian adalah beriman dan membenarkan dengan keyakinan yang pasti akan kedatangannya dan beramal shalih untuk menghadapinya.
Beriman kepada hari Akhir meliputi tiga perkara:
Beriman dan mempercayai adanya kebangkitan, yaitu dihidupkannya kembali orang-orang yang telah mati, ketika sangkakala (terompet raksasa) ditiup oleh malaikat yang bertugas untuk itu, lalu manusia bangkit hidup kembali untuk menghadap Allah Rabbul ‘alamin dalam keadaan kaki dan badan telanjang serta tidak disunat (utuh seperti masih bayi. pent).
Kebangkitan ini adalah tuntutan hikmah, dimana Allah subhanahu wata'aala telah menjadikan tempat tinggal abadi bagi makhluk, dimana di sana Dia memberikan balasan terhadap tugas dan kewajiban yang dipikulkan kepada mereka yang Dia sampaikan melalui para utusan-Nya.
Beriman akan adanya pembalasan dan hisab (perhitungan amal). Pada hari itu, Allah mengadakan perhitungan kepada setiap amal hamba-Nya untuk diberikan balasan yang setimpal dengannya. Maka bila ia datang menghadap Allah dengan suatu kebajikan maka ia akan mendapat balasan 10 kali lipat dari amal kebajikan tersebut dan jika ia datang dengan membawa suatu keburukan, maka ia tidak dibalas kecuali sama dengan besarnya keburukan itu dan mereka sama sekali tidak dizhalimi.
Pemberian balasan dan perhitungan amal adalah tuntutan hikmah, karena Allah subhanahu wata'aala telah menurunkan kitab-kitab suci-Nya, mengutus para utusan-Nya dan telah mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya agar menerima dan mengamalkan apa yang diajarkan dan disampaikan oleh para utusan itu kepada mereka.
Jika tidak ada perhitungan amal (hisab) dan pemberian balasan di akhirat, maka semua itu adalah hal sia-sia yang Allah Maha Suci darinya.
Kemudian, sesungguhnya hamba-hamba itu ada yang berbakti dan ada yang durhaka, ada yang beriman dan ada yang kafir, maka apakah layak dengan hikmah Allah jika semua mereka diperlakukan sama?!
Jawab: Tidak! Allah berfirman: “Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir); Mengapa kamu berbuat demikian. Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (Q.S. 68: 35-36)
Beriman dan meyakini adanya suga dan neraka. keduanya merupakan tempat terakhir yang abadi bagi manusia. Surga adalah negeri kenikmatan yang dipersiapkan oleh Allah untuk orang-orang beriman yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang beriman kepada apa yang diwajibkan oleh Allah untuk diimani dan melaksanakan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya dengan ikhlas semata karena Allah dan mencontoh rasul-Nya.
Di dalam surga terdapat berbagai macam kenikmatan yang belum pernah terlihat oleh mata atau terdengar oleh telinga atau terlintas di hati manusia.
Manusia di dalam surga berbeda-beda tingkatannya, masing-masing sesuai dengan amal shalih yang telah mereka lakukan.
Adapun tentang neraka, adalah negeri azab yang telah dipersiapkan oleh Allah untuk orang-orang kafir lagi zhalim yang kafir kepada-Nya dan durhaka terhadap para rasul-Nya.
Di dalam neraka terdapat berbagai macam bentuk azab dan siksaan yang tidak ada bandingannya.
Api neraka juga bertingkat-tingkat dan penghuninya pun berbeda-beda masing-masing menurut amal keburukan mereka.
Termasuk bagian beriman kepada hari kemudian (kiamat) adalah beriman kepada tanda-tanda kiamat dan kejadian hari kiamat yang menakutkan.
Termasuk juga beriman kepada segala sesuatu yang terjadi sesudah kematian seperti:
Fitnah kubur, yaitu pertanyaan malaikat sesudah seseorang dikuburkan, dimana pada saat itu ruh dikembalikan kepada jasadnya lalu ditanya tentang siapa Rabb, apa agama dan siapa nabinya. Maka Allah memberikan keteguhan jawaban kepada orang-orang yang beriman berupa jawaban yang tetap. Maka ia akan menjawab: Rabb-ku adalah Allah, agamaku adalah Islam, dan nabiku adalah Muhammad.
Dan di sana Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim. Maka orang yang kafir akan menjawab: Aduh, aduh... aku tidak tahu.
Dan orang munafiq atau orang yang ragu akan menjawab: Aku tidak tahu, aku mendengar orang lain mengatakan begini dan begitu lalu aku mengatakannya pula.
Azab dan kenikmatan kubur. Azab kubur adalah untuk orang-orang zhalim dari orang-orang munafiq dan kafir; dimana panas api neraka Jahannam dan siksaannya yang menyakiti mereka dan mempersempit kuburnya datang kepada mereka.
Sedangkan kenikmatan kubur adalah bagi orang-orang mu’min sejati, dimana salah satu pintu surga dibukakan untuk mereka, kubur mereka dijadikan lapang dan kenikmatan surga yang menyenangkan mereka selalu datang kepada mereka.
Buah iman kepada hari Kemudian:
Suka dan kecenderungan untuk melakukan ketaatan dan sungguh-sungguh melakukannya, dengan harapan mendapat balasannya pada hari Akhir kelak.
Menjauhi dan takut melakukan perbuatan maksiat serta tidak rela dengannya karena takut akan hukuman pada hari Akhir tersebut.
Beriman kepada hari akhir memberikan hiburan kepada orang beriman lantaran apa yang terlewat baginya di dunia disebabkan harapannya untuk meraih kenikmatan dan pahala di akhirat.
Iman kepada hari Kiamat menumbuhkan kesabaran dalam menghadapi berbagai musibah dan penyakit, dan mendapat pahala karenanya.
Pengingkaran Terhadap Kebangkitan Sesudah Kematian dan Sanggahannya
Orang-orang kafir mengingkari adanya kebangkitan sesudah kematian dengan anggapan bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Anggapan dan dugaan tersebut batil dari berbagai sudut pandang, di antaranya:
Dalil syar’i, Allah subhanahu wata'aala berfirman: “Orang-orang kafir beranggapan bahwa sesungguhnya mereka tidak akan dibangkitkan kembali; Katakanlah: Sekali-kali tidak demikian, Demi Rabb-ku, kamu benar-benar akan dibangkitkan kemudian kamu akan diberitakan tentang apa yang telah kamu lakukan, dan hal itu mudah bagi Allah”. (At-Taghabun 64: 7)
Sesungguhnya Allah lah yang memulai penciptaan, dan yang memulainya tidaklah susah untuk mengulanginya.
Dalil indrawi: Sesungguhnya Allah subhanahu wata'aala telah memperlihatkan kepada hamba-hamba-Nya penghidu-pan kembali orang yang telah mati di dunia ini. Di antaranya ketika kaum Nabi Musa berkata: “Kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah”. Lalu Allah mematikan mereka, kemudian menghidupkannya kembali.
Di dalam kisah tentang orang yang terbunuh yang dijadikan perselisihan oleh Bani Israil tentang siapa pembunuhnya pada zaman Nabi Musa ’alaihis salam, Allah memerintah mereka menyembelih seekor sapi betina, lalu memukul mayat tersebut dengan salah satu anggota tubuh sapi betina itu agar si mati itu berbicara untuk memberitakan siapa yang membunuhnya. Ketika mereka melakukan perintah tersebut Allah menghidupkan kembali mayat itu dan ia pun memberi tahu siapa pembunuhnya, lalu orang itu mati kembali. Dan demikian pula kisah tentang orang-orang yang keluar meninggalkan kampung halamannya, dan jumlah mereka banyak beribu-ribu karena takut mati, lalu Allah berkata kepada mereka “Matilah kalian”, lalu mereka pun mati, kemudian Allah menghidupkan mereka kembali.
Dan demikian pula halnya dengan mu’jizat yang diberikan oleh Allah subhanahu wata'aala kepada Nabi Isa ’alaihis salam berupa kemampuan untuk menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati dengan izin-Nya. Dali-dalil tentang hal tersebut sangat banyak sekali.
Pengingkaran Terhadap Azab Kubur dan Kenikmatannya
Ada sebagian orang yang mengingkari adanya azab kubur dan kenikmatannya dengan alasan bahwa sekiranya kubur orang yang telah mati itu dibuka, tentu akan ditemukan sebagaimana biasa, kuburnya tidak bertambah luas ataupun sempit. Anggapan dan dugaan di atas batil dari berbagai hal, di antaranya:
Dalil syar’i: Dalil-dalil Kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah menjelaskan adanya azab kubur dan kenikmatannya, dalil-dalil tersebut tidak boleh ditentang dengan menolak atau mendustakannya.
Dalil indrawi: Di antara dalil indrawi yang dapat memudahkan makna dan menunjukkan adanya azab kubur adalah bahwa sesungguhnya tidur itu adalah saudara kematian. Orang yang tidur melihat di dalam tidurnya bahwasanya ia sedang berada di suatu tempat yang luas dan merasa nikmat karenanya, atau melihat di dalam tidurnya bahwasanya ia sedang berada di suatu tempat yang menakutkan dan ia merasa takut dan sakit karenanya, dan bahkan terbangun karena mimpi yang ia lihat, padahal pada saat itu ia berada di atas kasur di dalam kamarnya sebagaimana biasa.
Kemudian, sesungguhnya keadaan alam barzakh di kubur itu tidak dapat diketahui oleh indra, sebab jika ia dapat diketahui dengan indra, maka hilanglah faidah iman kepada yang ghaib, dan tentu orang yang beriman kepada yang ghaib sama dengan orang yang mengingkari.
Kemudian juga, sesungguhnya kenikmatan kubur dan azabnya hanya dapat diketahui oleh orang yang mati saja, sebagaimana orang yang tidur bermimpi melihat dirinya berada di suatu tempat yang luas atau di suatu tempat yang menakutkan. Orang yang bermimpi itu bagi orang lain keadaannya tidak berubah, sementara orang yang bermimpi melihat apa yang ia lihat di dalam mimpinya padahal ia berada di atas kasur dan bertutup diri dengan selimut.
Perlu diingat bahwa sesungguhnya kemampuan pengetahuan manusia itu terbatas dengan kemampuan yang telah Allah berikan, maka dari itu manusia tidak mungkin dapat mengetahui segala sesuatu. Kalaulah penglihatan dan pendengaran mereka mempunyai batas kemampuan, maka akal dan kemampuan pengetahuan mereka pun juga terbatas pula.
Hal yang harus diketahui dalam masalah ini adalah bahwa sesungguhnya azab dan nikmat kubur itu tidak khusus bagi orang yang mati lalu di tanam di dalam kubur, tetapi juga meliputi setiap orang yang mati, apakah ia ditanam di dalam kubur atau di dalam tempat pengawet orang-orang mati, atau berada di dalam perut binatang buas, maupun mati di padang pasir dan tidak dikuburkan. Sesungguhnya ungkapan azab kubur itu diungkapkan karena telah menjadi kebiasaan bahwa orang mati itu dikuburkan.


KEEMPAT: BERIMAN KEPADA PARA RASUL
Ini adalah rukun keempat dari rukun-rukun iman. Dan kata الرُسُل adalah kata plural رَسُوْل (utusan) yaitu setiap orang yang mendapat wahyu agama dan mendapat perintah untuk menyampaikannya.
Rasul atau utusan pertama adalah Nabi Nuh dan yang terakhir adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam.
Setiap umat tidak pernah kosong dari rasul yang diutus oleh Allah kepada kaumnya masing-masing dengan syari’at (ajaran agama) tersendiri, atau seorang nabi yang menerima wahyu agama (syari’at) nabi sebelumnya untuk memperbaharui.
Para rasul (utusan Allah) itu adalah manusia biasa, mereka tidak mempunyai sifat-sifat ketuhanan rububiyah maupun uluhiyah sedikitpun. Maka dari itu mereka juga mengalami apa yang dialami oleh manusia lainnya, seperti sakit, mati, membutuhkan makanan dan minuman dan lain-lainnya.
Kerasulan itu adalah pemberian dan pilihan dari Allah dan tidak dapat diperoleh dengan suatu proses usaha dan mujahadah.
Para rasul adalah manusia terbaik dan pilihan. Beriman kepada rasul meliputi hal-hal berikut:
Mempercayai bahwa kerasulan mereka adalah hak (benar), dan barangsiapa yang mengingkari kepada kerasulan salah seorang di antara mereka maka berarti ia telah mengingkari (kafir) kepada para rasul secara keseluruhannya. Maka orang yang mendustakan kerasulan Nabi Isa, Nabi Musa, Nabi Muhammad atau para nabi lainnya maka sesung-guhnya ia telah mendustakan seluruh nabi dan rasul.
Berdasarkan itu semua, maka orang yang beriman kepada Nabi Isa ’alaihis salam, tetapi mendustakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam maka sesungguhnya mereka mendustakan Nabi Isa dan bukan merupakan pengikutnya, sebab Nabi Isa telah memberi kabar gembira akan kerasulan Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam. Dan berita gembira yang ia sampaikan kepada mereka tidak mempunyai arti lain kecuali “bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam itu adalah seorang rasul kepada mereka, yang dengannya Allah menyelamatkan mereka dari kesesatan dan membimbing mereka ke jalan yang lurus.
Mempercayai nama-nama di antara mereka yang kita ketahui, seperti Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad, sedangkan para rasul atau nabi yang tidak kita ketahui namanya, maka kita beriman kepada mereka secara global. Maksudnya adalah kita beriman dan mempercayai bahwa sesungguhnya Allah subhanahu wata'aala mempunyai rasul-rasul yang telah diutus kepada kaumnya masing-masing dan kita tidak harus mengetahui atau mengenal nama mereka.
Membenarkan berita-berita yang shahih tentang mereka.
Mengamalkan syari’at (ajaran agama) rasul yang terakhir dari mereka, yaitu rasul yang diutus kepada segenap umat manusia, yaitu Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam.
Buah iman kepada rasul:
Mengetahui betapa luasnya rahmat (belas-kasih) dan perhatian Allah kepada hamba-hamba-Nya, dimana Dia utus para rasul agar membimbing mereka ke jalan Allah dan menjelaskan kepada mereka bagaimana seharusnya mereka beribadah kepada Allah dan bagaimana mereka menempuh jalan yang lurus dalam meniti kehidupan ini, karena akal manusia itu sendiri tidak mampu mengetahui hal tersebut dengan sendirinya.
Bersyukur dan berterima kasih kepada Allah atas karunia dan nikmat besar ini.
Mencintai dan mengagungkan para rasul Allah dan memuji sesuai dengan yang layak bagi mereka, karena mereka adalah utusan-utusan Allah, teguh beribadah kepada-Nya, menyampaikan seruan (da’wah)-Nya dan memberikan nasihat kepada hamba-hamba-Nya dan karena mereka merupakan manusia terbaik dan manusia pilihan, termulia akhlaknya dan teragung ibadahnya.