Sabtu, 31 Juli 2010

AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH 11-11

SEJARAH MUNCULNYA ISTILAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Terkahir dari Dua Tulisan 2/2






Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah yaitu generasi Shahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in.

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu [1] berkata ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

" Artinya : Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu." [Ali Imran: 106]

“Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun orang yang hitam wajahnya mereka adalah ahlu bid’ah dan sesat.” [2]

Kemudian istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf rahimahullah di antaranya:

[1]. Ayyub as-Sikhtiyani Rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata, “Apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus Sunnah seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku.”

[2]. Sufyan ats-Tsaury Rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka adalah al-ghuraba’(orang yang terasing). Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” [3]

[3]. Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah [4] (wafat th. 187 H) berkata: “...Berkata Ahlus Sunnah: Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan.”

[4]. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallaam Rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata dalam muqaddimah kitabnya, al-Imaan [5] : “...Maka sesungguhnya apabila engkau bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman, ber-tambah dan berkurangnya iman dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian...”

[5]. Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah [6] (hidup th. 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, as-Sunnah: “Inilah madzhab Ahlul ‘Ilmi, Ash-habul Atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul j dan para Shahabatnya, dari semenjak zaman para Shahabat Radhiyallahu Ajmai'in hingga pada masa sekarang ini...”

[6]. Imam Ibnu Jarir ath-Thabary Rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata: “...Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum mukminin akan melihat Allah pada hari kiamat, maka itu merupakan agama yang kami beragama dengannya, dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa ahli Surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” [7]

[7]. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawy Rahimahullah (hidup th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab ‘aqidahnya yang masyhur (‘Aqidah Thahawiyah): “...Ini adalah penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal umat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak untuk melawan Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah agar ummat faham tentang ‘aqidah yang benar dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlu Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahary, Imam ath-Thahawy serta yang lainnya.

Dan ini juga sebagai bantahan kepada orang yang berpendapat bahwa istilah Ahlus Sunnah pertama kali dipakai oleh golongan Asy’ariyah, padahal Asy’ariyah timbul pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah.[8]


[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Beliau adalah seorang Shahabat yang mulia dan termasuk orang pilihan Radhiyallahu anhuma. Nama lengkapnya adalah ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib al-Hasyimi al-Qurasyi, anak paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, penafsir al-Qur-an dan pemuka kaum muslimin di bidang tafsir. Dia diberi gelar ‘pena’ dan juga ‘laut’, karena luas keilmuannya dalam bidang tafsir, bahasa dan syair Arab. Beliau dipanggil oleh para Khulafa’ ar-Rasyidin untuk dimintai nasehat dan pertimbangan dalam berbagai perkara. Beliau Radhiyallahu 'anhuma pernah menjadi wali pada zaman ‘Utsman Radhiyallahu 'anhu tahun 35 H, ikut memerangi kaum Khawarij bersama ‘Ali, cerdas dan kuat hujjahnya. Menjadi ‘Amir di Bashrah, kemudian tinggal di Thaif hingga meninggal dunia tahun 68 H. Beliau lahir tiga tahun sebelum hijrah. Lihat al-Ishaabah (II/330 no. 4781).
[2]. Lihat Tafsiir Ibni Katsiir (I/419, cet. Daarus Salaam), Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/79 no. 74).
[3]. Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/71 no. 49 dan 50).
[4]. Beliau Fudhail bin ‘Iyadh bin Mas’ud at-Tamimy t, adalah seorang yang terkenal zuhud, berasal dari Khuraasaan dan bermukim di Makkah, tsiqah, wara’, ‘alim, diambil riwayatnya oleh al-Bukhari dan Muslim. Lihat Taqriibut Tahdziib (II/15 no. 5448), Tahdziibut Tahdziib (VII/264 no. 540).
[5]. Tahqiq dan takhrij Syaikh al-Albany Rahimahullah
[6]. Beliau Rahimahullah adalah seorang Imam yang luar biasa dalam kecerdasan, kemuliaan, keimaman, kewara’an, kezuhudan, hafalan, alim dan faqih. Nama lengkapnya Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad asy-Syaibani, lahir pada tahun 164 H. Seorang Muhaddits utama Ahlus Sunnah. Pada masa al-Ma’mun beliau dipaksa mengatakan bahwa al-Qur-an adalah makhluk, sehinga beliau dipukul dan dipenjara, namun beliau menolak mengatakannya. Beliau tetap mengatakan al-Qur-an adalah Kalamullah, bukan makhluk. Beliau meninggal di Baghdad. Beliau menulis beberapa kitab dan yang paling terkenal adalah al-Musnad fil Hadiits (Musnad Imam Ahmad). Lihat Siyar A’lamin Nubalaa’ (XI/177 no. 78).
[7]. Lihat kitab Shariihus Sunnah oleh Imam ath-Thabary Rahimahullah'
[8]. Lihat kitab Wasathiyyah Ahlis Sunnah bainal Firaq karya Dr. Muhammad Baa Karim Muhammad Baa ‘Abdullah (hal. 41-44)




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1223&bagian=0

AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH 10-11

PENJELASAN KAIDAH-KAIDAH DALAM MENGAMBIL DAN MENGGUNAKAN DALIL


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Ketiga dari Lima Tulisan 3/5





Penjelasan Kaidah Keenam

“Dalil ‘aqli (akal) yang benar akan sesuai dengan dalil naqli/nash yang shahih.”

Kata ‘Aql dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti [1], di antaranya: Ad-diyah (denda), al-hikmah (kebijakan), husnut tasharruf (tindakan yang baik atau tepat). Secara terminologi, ‘aql (selanjutnya ditulis akal) digunakan untuk dua pengertian:

[1]. Aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada setiap manusia.
[2]. Kesiapan bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang.

Akal merupakan ‘ardh atau bagian dari indera yang ada dalam diri manusia yang bisa ada dan bisa hilang. Sifat ini dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam salah satu sabdanya:

"Artinya : ...dan termasuk orang gila sampai ia kembali berakal.”[2]

Akal adalah insting yang diciptakan Allah Subahnahu wa Ta'ala kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan Allah Azza wa Jalla.

Firman-Nya:

"Artinya : Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan.” [Al-Israa’: 70]

Syari’at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia. Dan itu dapat dilihat pada beberapa point berikut:

Pertama [3]:
Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syariat-Nya.

Allah Subahanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya :...Dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal." [Shaad: 43]

Kedua [4] :
Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban kewajiban) dari Allah Azza wa Jalla. Hukum-hukum syari’at tidak berlaku bagi mereka yang tidak menerima taklif. Dan di antara yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan; orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi, orang gila sampai ia kembali sadar (berakal)."[5]

Ketiga [6].
Allah Azza wa Jalla mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Allah terhadap ahli Neraka yang tidak menggunakan akalnya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memi-kirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni Neraka yang menyala-nyala." [Al-Mulk: 10]

Keempat [7].
Penyebutan begitu banyak proses dan anjuran berfikir dalam al-Qur-an, seperti tadabbur, tafakkur, ta-aqqul dan lainnya. Maka kalimat seperti “la’allakum tatafakkaruun” (mudah-mudahan kamu berfikir), atau “afalaa ta’qiluun” (apakah kamu tidak berakal), atau “afalaa yatadabbaruuna al-Qur'ana” (apakah mereka tidak mentadabburi/merenungi isi kandungan al-Qur'an) dan lainnya.

Kelima.
Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja akal.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: ‘Tidak! Tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. (Apakah mereka akan mengikutinya juga) walau-pun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? "[Al-Baqarah: 170]

Perbedaan antara taqlid dan ittiba’ adalah sebagaimana telah dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, “Ittiba’ adalah sese-orang mengikuti apa-apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” [8]

Ibnu ‘Abdil Barr (wafat th. 463 H) dalam kitabnya, Jaami’ul Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi [9] menerangkan perbedaan antara ittiba’ (mengikuti) dan taqlid yaitu terletak pada adanya dalil-dalil qath’i yang jelas. Bahwa ittiba’ yaitu penerimaan riwayat berdasarkan diterimanya hujjah sedangkan taqlid adalah penerimaan yang ber-dasarkan pemikiran logika semata.

Berkata Ibnu Khuwaiz Mindad al-Maliki (namanya adalah Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdillah, wafat th. 390 H) : “Makna taqlid secara syar’i adalah merujuk kepada perkataan yang tidak ada hujjah/dalil atas orang yang mengatakannya. Dan makna ittiba’ yaitu mengikuti apa-apa yang berdasarkan atas hujjah/dalil yang tetap. Ittiba’ diperkenankan dalam agama, namun taqlid dilarang.” [10]

Jadi definisi taqlid adalah menerima pendapat orang lain tanpa dilandasi dalil.[11]

Keenam [12]
Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti kebenaran.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Artinya : ..Sebab itu sampaikanlah berita (gembira) itu kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal." [Az-Zumar: 17-18]

Ketujuh.
Pembatasan wilayah kerja akal dan pikiran manusia sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

"Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu adalah urusan Rabb-ku. Dan tiadalah kalian diberi ilmu melainkan sedikit." [Al-Israa’: 85]

Firman Allah Azza wa Jalla :

"Artinya : Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya." [Thaahaa: 110]

Ulama Salaf (Ahlus Sunnah) senantiasa mendahulukan naql (wahyu) atas ‘aql (akal). Naql adalah dalil-dalil syar’i yang tertuang dalam al-Qur-an dan as-Sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan akal ialah, dalil-dalil ‘aqli yang dibuat oleh para ulama ilmu kalam dan mereka jadikan sebagai agama yang menundukkan/mengalahkan dalil-dalil syar’i.

Mendahulukan dalil naqli atas dalil akal bukan berarti Ahlus Sunnah tidak menggunakan akal. Tetapi maksudnya adalah dalam menetapkan ‘aqidah mereka tidak menempuh cara seperti yang ditempuh para ahli kalam yang menggunakan rasio semata untuk memahami masalah-masalah yang sebenarnya tidak dapat dijangkau oleh akal dan menolak dalil naqli (dalil syar’i) yang bertentangan dengan akal mereka atau rasio mereka.

Imam Abul Muzhaffar as-Sam’ani Rahimahullah (wafat th. 489 H) [13] berkata: “Ketahuilah, bahwa madzhab Ahlus Sunnah mengatakan bahwa akal tidak mewajibkan sesuatu bagi seseorang dan tidak melarang sesuatu darinya, serta tidak ada hak baginya untuk meng-halalkan atau mengharamkan sesuatu, sebagaimana juga tidak ada wewenang baginya untuk menilai ini baik atau buruk. Seandainya tidak datang kepada kita wahyu, maka tidak ada bagi seseorang suatu kewajiban agama pun dan tidak ada pula yang namanya pahala dan dosa.”

Secara ringkas pandangan Ahlus Sunnah tentang penggunaan akal, di antaranya sebagai berikut :[14]

[1]. Syari’at didahulukan atas akal, karena syari’at itu ma’shum sedang akal tidak ma’shum.
[2]. Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak bersifat detail.
[3]. Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan syari’at.
[4]. Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang berten-tangan dengan syari’at.
[5]. Penentuan hukum-hukum tafshiliyah (terinci seperti wajib, haram dan seterusnya) adalah hak prerogatif syariat.
[6]. Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu atas sesuatu sebelum datangnya wahyu, walaupun secara umum ia dapat mengenal dan memahami yang baik dan buruk.
[7]. Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh syari’at.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Artinya : Kami tidak akan meng‘adzab sehingga Kami mengutus seorang Rasul." [Al-Israa’: 15]

[8]. Janji Surga dan ancaman Neraka sepenuhnya ditentukan oleh syari’at.
[9]. Tidak ada kewajiban tertentu terhadap Allah Azza wa Jalla yang diten-tukan oleh akal kita kepada-Nya. Karena Allah mengatakan tentang diri-Nya:

"Artinya :Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya" [Al-Buruuj: 16]

Dari sini dapat dikatakan bahwa keyakinan Ahlus Sunnah adalah yang benar dalam masalah penggunaan akal sebagai dalil. Jadi, akal dapat dijadikan dalil jika sesuai dengan al-Qur'an dan as-Sunnah atau tidak bertentangan dengan keduanya. Dan jika ia bertentangan dengan keduanya, maka ia dianggap bertentangan dengan sumber dan dasarnya. Dan keruntuhan pondasi berarti juga keruntuhan bangunan yang ada di atasnya. Sehingga akal tidak lagi menjadi hujjah (argumen, alasan) namun berubah men-jadi dalil yang bathil.[15]


[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 40).
[2]. HR. Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3703) dan Irwaa-ul Ghaliil (II/5-6).
[3]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 40).
[4]. Ibid, hal. 40.
[5]. HR. Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Sunan Abi Dawud (III/832 no. 3703).
[6]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 41).
[7]. Ibid, hal. 41.
[8]. Lihat Taarikh Ahlil Hadits Ta’yiin al-Firqah an-Najiyah wa Annaha Tha-ifah Ahlil Hadits oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad ad-Dahlawi al-Madani, tahqiq oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halaby hal. 116.
[9]. Ibid, hal. 116.
[10]. Ibid, hal. 117 dan Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, tahqiq Abu Asybal az-Zuhairi (II/993).
[11]. Lihat Manhaj Imam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/121) karya Dr. Muhammad bin ‘Abdil Wahhab al-‘Aqiil.
[12]. Lihat al-Madkhal (hal. 41).
[13]. Beliau adalah Abu Muzhaffar Manshuur bin Muhammad bin ‘Abdil Jabbar as-Sam’ani at-Taimi seorang ahli fikih, imam yang masyhur, beliau memiliki kitab-kitab tentang fikih dan ushul fikih serta hadits. Lihat al-Hujjah fi Bayyan al-Mahajjah (I/314) oleh Imam al-Ashbahani, tahqiq Muhammad bin Rabi’ bin Hadi ‘Amir al-Madkhaly. Cet. Daar ar-Raayah, 1411 H
[14]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 45).
[15]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah. hal. 46.




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1360&bagian=0

AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH 9-11

PENJELASAN KAIDAH-KAIDAH DALAM MENGAMBIL DAN MENGGUNAKAN DALIL


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Kedua dari Lima Tulisan 2/5





Penjelasan Kaidah Kelima :

“Berserah Diri (Taslim), Patuh Dan Taat Hanya Kepada Allah Dan Rasul-Nya, Secara Lahir Dan Bathin. Tidak Menolak Sesuatu Dari Al-Qur'an Dan A-Sunnah Yang Shahih, (Baik Menolaknya Itu) Dengan Qiyas (Analogi), Perasaan, Kasyf (Iluminasi Atau Penyingkapan Tabir Rahasia Sesuatu Yang Ghaib), Ucapan Seorang Syaikh, Ataupun Pendapat Imam-Imam Dan Yang Lainnya.”

Imam Muhammad bin Syihab az-Zuhri Rahimahullah (wafat th. 124 H) berkata:

“Allah yang menganugerahkan risalah (mengutus para Rasul), kewajiban Rasul adalah menyampaikan risalah, dan kewajiban kita adalah tunduk dan taat.” [1]

Kewajiban seorang muslim, untuk tunduk dan taslim secara sempurna, serta tunduk kepada perintahnya, menerima berita yang datang dari beliau 'Alaihi sholatu wa sallam dengan penerimaan yang penuh dengan pembenaran, tidak boleh menentang apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan perkataan bathil, hal-hal yang syubhat atau ragu-ragu, dan tidak boleh juga dipertentangkan dengan perkataan seorang pun dari manusia.

Penyerahan diri, tunduk patuh dan taat kepada perintah Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah merupakan kewajiban seorang muslim. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak. Taat kepada Rasulullah 'Alaihi sholatu wa sallam berarti taat kepada Allah Azza wa Jalla

Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara mereka.” [An-Nisaa’: 80]

Seorang hamba akan selamat dari siksa Allah Subhanahu wa Ta'ala bila ia mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dengan ikhlas dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak boleh mengambil kepada selain beliau Shallallahu 'alaihi wa sallm sebagai pemutus hukum dan tidak boleh ridha kepada hukum selain hukum beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam putuskan tidak boleh ditolak dengan pendapat seorang guru, imam, qiyas dan lainnya.

Sesungguhnya seorang muslim tidak akan selamat dunia dan akhirat, sebelum ia berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallm, dan menyerahkan ilmu yang belum jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya. Hal tersebut artinya, berserah diri kepada nash-nash al-Qur-an dan as-Sunnah. Tidak menentangnya dengan pena’wilan yang rusak, syubhat, keragu-raguan dan pendapat orang.

Ada sebuah riwayat, yaitu ketika beberapa Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang duduk-duduk di dekat rumah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallm, tiba-tiba di antara mereka ada yang menyebutkan salah satu dari ayat al-Qur-an, lantas mereka bertengkar sehingga semakin keras suara mereka, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dalam keadaan marah dan merah mukanya, sambil melemparkan debu seraya bersabda:

“Artinya : Tenanglah wahai kaumku! Sesungguhnya cara seperti ini (bertengkar) telah membinasakan umat-umat sebelum kalian, yaitu mereka menyelisihi para Nabi mereka serta mereka ber-pendapat bahwa sebagian isi kitab itu bertentangan sebagian isi kitab yang lain. Ingat! Sesungguhnya al-Qur-an tidak turun untuk mendustakan sebagian dengan sebagian yang lainnya, bahkan ayat-ayat al-Qur-an sebagian membenarkan sebagian yang lainnya. Karena itu apa yang telah kalian ketahui, maka amalkanlah dan apa yang kalian tidak ketahui serahkanlah kepada yang paling alim.” [2].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

“Artinya : Bertengkar dalam masalah al-Qur-an adalah kufur.” [3]

Imam ath-Thahawi Rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mencoba mempelajari ilmu yang terlarang, tidak puas pemahamannya untuk pasrah (kepada al-Qur-an dan as-Sunnah), maka ilmu yang dipelajarinya itu akan menutup jalan baginya dari kemurnian tauhid, kejernihan ilmu pengetahuan dan keimanan yang benar.” [4]

Penjelasan ini bermakna, larangan keras berbicara tentang masalah agama tanpa ilmu.

Orang yang berbicara tanpa ilmu, tidak lain pasti mengikuti hawa nafsunya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” [Al-Israa’: 36]

“Artinya : ...Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zhalim” [Al-Qashash: 50].

“Artinya : Di antara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat, yang telah ditetapkan terhadap syaitan itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengannya, tentu ia akan menyesatkannya, dan memba-wanya ke dalam adzab Neraka.” [Al-Haaj: 3-4]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Artinya : Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurun-kan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui.’” [Al-A’raaf: 33]

Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallmj ditanya tentang anak-anak kaum Musyrikin yang meninggal dunia, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

"Allah-lah Yang Mahatahu apa yang telah mereka kerjakan.” [5]

Dari Abu Umamah al-Baahili Radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallm bersabda: “Tidaklah suatu kaum akan tersesat setelah mendapat hidayah kecuali apabila di kalangan mereka diberi kebiasaan berdebat.” Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan firman Allah

“Artinya : ...Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melain-kan dengan maksud membantah saja...” [Az-Zukhruf: 58] [6]

Dari Aisyah [7] Radhiyallahu 'anha, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallm bersabda:

"Artinya : Ă…Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang keras hati lagi suka membantah.” [8]

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang tidak taslim kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka telah berkurang tauhidnya. Dan orang yang berkata dengan ra’yunya (logikanya), hawa nafsunya atau taqlid kepada orang yang mempunyai ra’yu dan mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah, maka berkuranglah tauhidnya menurut kadar keluarnya dia dari ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Sesungguhnya dia telah menjadikan sesembahan selain Allah Azza wa Jalla.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berda-sarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka, siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiar-kannya sesat). Maka, mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” [Al-Jaatsiyah: 23] [9]


[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1].Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Kitabut Tauhid. Lihat kitab Fat-hul Baari (XIII/503).
[2]. HR. Ahmad (II/195, 196), ‘Abdurrazaq dalam al-Mushannaf (no. 20367), Ibnu Majah (no. 85), Bukhari fii Af’alil ‘Ibad (hal. 43), al-Baghawi (no. 121) sanadnya hasan. Dari Shahabat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya Radhiyallahu 'anhu. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Tahqiiq Musnad Imam Ahmad (no. 6702).
[3]. HR. Ahmad (II/286, 300, 424, 475, 503 dan 528), Abu Dawud no. 4603, dengan sanad yang hasan. Dishahihkan oleh al-Hakim (II/223) dan disetujui oleh adz-Dzahabi, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Lihat juga Syarhus Sunnah lil Imam al-Baghawi (I/261).
[4]. Lihat Syarah ‘Aqiidah Thahawiyyah, takhrij dan ta’liq oleh Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki (hal. 233).
[5]. HR. Al-Bukhari no. 1384 dan Muslim no. 2659, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[6]. HR. At-Tirmidzi (no. 3253), Ibnu Majah (no. 48), Ahmad (V/252, 256), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir dan Hakim (II/447, 448), dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi. Menurut Syaikh al-Albani hadits ini hasan sebagaimana perkataan Imam at-Tirmidzi, lihat Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib no. 141.
[7]. Beliau adalah Ummul Mukminin. Nama lengkapnya ‘Aisyah bintu Abi Bakar ash-Shiddiq, isteri Rasulullah j yang dinikahi di Makkah pada waktu berusia enam tahun. Nabi j hidup bersamanya di Madinah ketika dia berusia sembilan tahun pada tahun kedua Hijriyah dan tidak menikah dengan perawan selainnya. Dia adalah isteri yang paling dicintainya di antara isteri-isteri lainnya. Dia banyak menghafal hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallamj dan wanita yang paling cerdas dan paling ‘alim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal saat ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berusia 18 tahun. ‘Aisyah Radhiyallahu anha meninggal pada tahun 58 H dalam usia 67 tahun. Dimakamkan di Baqi’, Madinah an-Nabawiyah. Lihat al-Ishaabah fii Tamyiiz ash-Shahaabah karya Ibnu Hajar al-Asqalani (IV/359 no. 704, cet. Daarul Fikr).
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 2457), Muslim (no. 2668), at-Tirmidzi (no. 2976), an-Nasa-i (VIII/248) dan Ahmad (VI/55, 62, 205).
[9]. Lihat penjelasannya di dalam kitab Syarah ‘Aqiidah Thahawiyyah, takhrij dan ta’liq oleh Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki (hal. 228-235)




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1324&bagian=0

AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH 8-11

PENJELASAN KAIDAH-KAIDAH DALAM MENGAMBIL DAN MENGGUNAKAN DALIL


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Pertama dari Lima Tulisan 1/5





Penjelasan Kaidah Kedua :

“Setiap Sunnah Yang Shahih Yang Berasal Dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Wajib Diterima, Walaupun Sifatnya Ahad.”


Hadits Ahad ialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir atau tidak memenuhi sebagian dari syarat-syarat mutawatir [1].

Para ulama dari ummat ini pada setiap generasi, baik yang mengatakan bahwa hadits ahad menunjukkan ilmu yakin maupun yang berpendapat bahwa hadits ahad menunjukkan zhann, mereka berijma’ (sepakat) atas wajibnya mengamalkan hadits Ahad. Tidak ada yang berselisih di antara mereka melainkan kelompok kecil yang tidak masuk hitungan, seperti Mu’tazilah dan Rafidhah [2].

Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi Rahimahullah mengatakan. “Ketahuilah, bahwa penelitian yang kita tidak boleh menyimpang dari hasilnya adalah bahwa hadits Ahad yang shahih harus diamalkan untuk masalah-masalah Ushuluddin, sebagaimana ia diambil dan diamalkan untuk masalah-masalah hukum/furu’. Maka, apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sanad yang shahih mengenai Sifat-Sifat Allah, wajib diterima dan diyakini dengan keyakinan bahwa sifat-sifat itu sesuai dengan ke-Mahasempurnaan dan ke-Mahaagungan-Nya sebagaimana firman-Nya:

“Artinya : ...Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Mahamendengar lagi Mahamelihat.” [Asy-Syuura’: 11]

Dengan demikian, anda menjadi tahu bahwa penerapan para ahli kalam dan pengikutnya bahwa hadits-hadits Ahad itu tidak bisa diterima untuk dijadikan dalil dalam masalah-masalah aqidah seperti tentang Sifat-Sifat Allah, karena hadits-hadits Ahad itu tidak menunjukkan kepada hal yang yakin melainkan kepada zhann (dugaan) sementara masalah ‘aqidah itu harus mengandung keyakinan. Ucapan mereka itu adalah bathil dan tertolak. Dan cukuplah sebagai bukti dari kebathilannya bahwa pendapat ini mengharuskan menolak riwayat-riwayat shahih yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdasarkan hukum akal semata.” [3].

Rasulullah 'Alaihi wa sholatu wa sallam adalah pemakai bahasa Arab terbaik dan terfasih, beliau telah dikaruniai jawami’ul kalim (kemampuan mengungkap kalimat ringkas dengan makna yang padat, kalimat sarat makna) dan ditugaskan untuk menyampaikannya. Dengan begitu, tidaklah dapat dibayangkan -baik secara syar’i maupun ‘aqli- bahwa beliau j akan membiarkan masalah ‘aqidah menjadi samar dan penuh syubhat, sebab ‘aqidah merupakan bagian terpenting dari seluruh rangkaian ajaran agama. Sehingga bila beliau menje-laskan masalah furu’ secara detail, mustahil beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukan hal yang sama pada masalah ushul (pokok).

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sudah menjelaskan masalah ushul (‘aqidah) dengan detail (rinci) dengan sejelas-jelasnya, karena itu seorang muslim wajib menerima apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallm meskipun derajat haditsnya adalah ahad, tidak mencapai mutawatir. Imam Ahmad Rahimhullah berkata: “Barangsiapa yang menolak hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallm, maka ia berada di tepi jurang kebinasaan.”



[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Lihat an-Nukat ‘alaa Nuzhatun Nazhar Syarah Nukhbatul Fikr (hal. 70) oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Atsary.
[2]. Lihat Manhaj Imam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/112) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdil Wahhab al-‘Aqiil.
[3]. Ibid (I/113-114).
[4]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal 28) oleh Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, cet. II-Daarus Sunnah, 1414 H.




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1323&bagian=0

AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH 7-11

OBJEK KAJIAN ILMU ‘AQIDAH


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2






Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah/sekte selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari ilmu ‘Aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah:

[1]. Ilmu Kalam
Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mutakallimin, seperti aliran Mu’tazilah, Asyaa’irah[1] dan kelompok yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam itu sendiri merupakan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah dengan tidak dilandasi ilmu.

Dan larangan tidak bolehnya nama tersebut dipakai juga ka-rena bertentangan dengan metodologi ulama Salaf di dalam mene-tapkan masalah-masalah ‘aqidah.

[2]. Filsafat
Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.

[3]. Tashawwuf
Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena merupakan pena-maan yang baru lagi diada-adakan. Di dalamnya terkandung igauan kaum Shufi, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka dijadikan sebagai rujukan di dalam ‘aqidah.

Kata Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Ia terkenal (ada) setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam.

Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan: “Jelas bahwa Tashawwuf me-miliki pengaruh dari kehidupan para pendeta Nashrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dengan tauhid. Islam memberikan pe-ngaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.” [2]

Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) Rahimahullah berkata di dalam bukunya at-Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashaadir: “Apabila kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran Shufi yang per-tama dan terakhir (belakangan) serta pendapat-pendapat yang di-nukil dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab Shufi baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas per-bedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran al-Qur-an dan as-Sunnah. Begitu juga kita tidak pernah melihat adanya bibit-bibit Shufi di dalam perjalanan hidup Nabi Shallallahu 'alaihi wa sllam dan para Shahabat beliau Radhiyallahu 'anhum, yang mereka adalah (sebaik-baik) pilihan Allah Subhanahu wa Ta'ala dari para hamba-Nya (setelah para Nabi dan Rasul). Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran tasawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta kezuhudan Budha, konsep asy-Syu’ubi di Iran yang merupakan Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah Yunani, dan pemikiran Neo-Platonisme, yang dilaku-kan oleh orang-orang Shufi belakangan.” [3]

Syaikh ‘Abdurrahman al-Wakil Rahimahullah berkata di dalam kitab-nya, Mashra’ut Tashawwuf: “Sesungguhnya Tashawwuf itu adalah tipuan (makar) paling hina dan tercela. Syaitan telah membuat hamba Allah tertipu atasnya dan memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sesungguhnya Tashawwuf adalah (sebagai) kedok Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang ahli ibadah, bahkan juga kedok semua musuh agama Islam ini. Bila diteliti lebih mendalam, akan ditemui bahwa di dalam ajaran Shufi terdapat ajaran Brahmanisme, Budhisme, Zaratuisme, Platoisme, Yahudisme, Nashranisme dan Paganisme.” [4]

[4]. Ilahiyyat (Teologi)
Ini adalah nama yang dipakai oleh Mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga merupakan penamaan yang salah sehingga nama ini tidak boleh dipakai, karena yang mereka maksud adalah filsafatnya kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum Mutakallimin tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala menurut persepsi mereka.

[5]. Kekuatan di Balik Alam Metafisika
Sebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena hanya berdasar pada pemikiran manusia semata dan bertentangan dengan al-Qur-an dan as-Sunnah.

Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yang mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak mempunyai dasar (dalil) ‘aqli maupun naqli.

Sesungguhnya ‘aqidah yang mempunyai penger-tian yang benar yaitu ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang ber-sumber dari al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih serta Ijma’ Salafush Shalih.


[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1] Seperti Syarhul Maqaashid fii ‘Ilmil Kalam karya at-Taftazani (wafat th. 791 H).
[2] Ash-Shufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan (hal. 17), dikutip dari Haqiiqatut Tashawwuf karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al Fauzan (hal. 18-19).
[3] Hal. 50, cet. I, Idaarah Turjuman as-Sunnah, Lahore-Pakistan, 1406 H.
[4] Hal. 10, cet. Riyaasah Idaarah al-Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’, th. 1414 H.




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1079&bagian=0

AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH 6-11

OBJEK KAJIAN ILMU ‘AQIDAH[1]


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2






‘Aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu -sesuai konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah- meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah ghaibiyat (hal-hal ghaib), kenabian, taqdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-dasar hukum yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula sanggahan terhadap Ahlul Ahwa’ wal Bida’, semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesat-kan serta sikap terhadap mereka.

Disiplin ilmu ‘Aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah (golongan-golongan) lainnya.

Di antara nama-namanya menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:

[1]. ‘Aqidah (I’tiqad dan ‘Aqa-id)
Para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut istilah ‘Aqidah Salaf, ‘Aqidah Ahlul Atsar di dalam kitab-kitab mereka.[2]

[2]. Tauhid
Karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau peng-esaan kepada Allah di dalam Uluhiyyah, Rububiyyah dan Asma’ wa Shifat. Jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu ‘aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya. Maka, dari itulah ilmu ini disebut ilmu Tauhid secara umum menurut Ulama Salaf [3]

[3]. As-Sunnah
As-Sunnah artinya jalan. ‘Aqidah Salaf disebut as-Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah j dan para Shahabat g di dalam masalah ‘aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur (populer) pada tiga ge-nerasi pertama.[4]

[4]. Ushuluddin dan Ushuluddiyanah
Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i serta hal-hal yang telah menjadi ke-sepakatan para ulama.[5]

[5]. Al-Fiqh al-Akbar
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqh al-Ashghar, yaitu kumpulan hukum-hukum ijtihadi.[6]

[6]. Asy-Syari’ah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah ‘aqidah).[7]

Itulah beberapa nama lain dari Ilmu ‘Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya kelompok selain Ahlus Sunnah menama-kan ‘aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asyaa’irah (Asy’ariyah), terutama para ahli hadits dari kalangan mereka.


[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1] Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 12-14).
[2] Seperti ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits karya ash-Shabuni (wafat th. 449 H), Syarh Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 5-6) oleh Imam al-Laalika-iy (wafat th. 418 H) dan al-I’tiqaad oleh Imam al-Baihaqy (wafat th. 458 H). Rahimahullah
[3] Seperti Kitabut Tauhid di dalam Shahih al-Bukhari karya Imam al-Bukhari (wafat th. 256 H), Kitabut Tauhid wa Itsbaat Shifaatir Rabb karya Ibnu Khuzaimah (wafat th. 311 H), Kitab I’tiqaad at-Tauhid oleh Abu ‘Abdillah Muhammad bin Khafif (wafat th. 371 H), Kitabut Tauhid oleh Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitabut Tauhid oleh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (wafat th. 1206 H). Rahimahullah
[4] Seperti kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal (wafat th. 241 H), as-Sunnah karya ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat th. 290 H), as-Sunnah karya al-Khallal (wafat th. 311 H) dan Syarhus Sunnah karya Imam al-Barbahary Rahimahullah
[5] Seperti kitab Ushuuluddin karya al-Baghdadi (wafat th. 429 H), asy-Syarh wal Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Ibnu Baththah al-Ukbari (wafat th. 378 H) dan al-Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari (wafat th. 324 H).
[5] Seperti kitab al-Fiq-hul Akbar karya Imam Abu Hanifah t (wafat th. 150).
[6] Seperti kitab asy-Syari’ah oleh al-Ajurri (wafat th. 360 H) dan al-Ibaanah ‘an Syari’atil Firqah an-Naajiyah karya Ibnu Baththah.
[7] Seperti kitab asy-Syari’ah oleh al-Ajurri (wafat th. 360 H) dan al-Ibaanah ‘an Syari’atil Firqah an-Naajiyah karya Ibnu Baththah.




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1075&bagian=0

AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH 5-11

MAKNA SALAF


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas





Menurut bahasa, Salaf artinya ‘nenek moyang’ yang lebih tua dan lebih utama[1]. Salaf berarti para pendahulu. Jika dikatakan "salafu ar-rojuli" = salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah mendahuluinya.[2]

Menurut istilah, kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/ masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).” [3]

Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih ialah generasi per-tama dari ummat ini yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, menjaga sunnahnya, Allah pilih mereka untuk menemani Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan untuk menegakkan agama-Nya...” [4]

Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya al-‘Aqidah al-Islamiyyah baina Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dibatasi waktu, bahkan harus sesuai dengan al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (tentang aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk-Pent.). Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan al-Qur-an dan as-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafy meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi al-Qur-an dan as-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafy meskipun ia hidup pada zaman Shahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in. [5]

Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyun bukanlah termasuk perkara bid’ah, akan tetapi penisbatan ini adalah penisbatan yang syar’i karena menisbatkan diri kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu para Shahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyun karena mereka mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Shahabat dan Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, mereka ini disebut Salafy, karena dinisbatkan kepada Salaf. Dan Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj (sistem hidup dalam ber-‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlaq dan yang lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabat Radhiyallahu 'anhum sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan. [6]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah (wafat th. 728 H) [7] berkata : “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada Salaf, bahkan wajib menerima yang demikian itu karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran.” [8]


[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Lisanul ‘Arab (VI/331) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) Rahimahullah
[2]. Lihat al-Mufassiruun baina Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/11) karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdirrahman al-Maghraawi. Mu-assasah ar-Risalah 1420 H.
[3]. Muttafaq ‘alaih. HR. Al-Bukhary (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (211)) dari Shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu
[4]. Al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/11).
[5]. Al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/13-14) dan al-Wajiiz fii ‘Aqiidah Salafush Shaalih hal 34.
[6]. Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’ (I/63-64) karya Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaily, Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajas Salaf (hal. 21) karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dan Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqiidah.
[7]. Beliau adalah Ahmad bin ‘Abdil Halim bin ‘Abdissalam bin ‘Abdillah bin Khidhr bin Muhammad bin ‘Ali bin ‘Abdillah bin Taimiyyah al-Harrani. Beliau lahir pada hari Senin, 14 Rabi’ul Awwal th. 661 H di Harran (daerah dekat Syiria). Beliau seorang ulama yang dalam ilmunya, luas pandangannya. Pembela Islam sejati dan mendapat julukan Syaikhul Islam karena hampir menguasai semua disiplin ilmu. Beliau termasuk Mujaddid abad ke-7 H dan hafal al-Qur-an sejak masih kecil. Beliau t mempunyai murid-murid yang ‘alim dan masyhur, antara lain: Syamsuddin bin ‘Abdil Hadi (wafat th. 744 H), Syamsuddin adz-Dzahabi (wafat th. 748 H), Syamsuddin Ibnu Qayyim al-Jauziyah (wafat th. 751 H), Syam-suddin Ibnu Muflih (wafat th. 763 H) serta ‘Imaduddin Ibnu Katsir(wafat th. 774 H), penulis kitab tafsir yang terkenal, Tafsiir Ibni Katsiir.
‘Aqidah Syaikhul Islam adalah ‘aqidah Salaf, beliau t seorang Mujaddid yang berjuang untuk menegakkan kebenaran, berjuang untuk menegakkan al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat g tetapi Ahlul Bid’ah dengki kepada beliau, sehingga banyak yang menuduh dan memfitnah. Beliau menjelaskan yang haq tetapi ahli bid’ah tidak senang dengan dakwahnya sehingga beliau diadukan kepada penguasa pada waktu itu, akhirnya beliau beberapa kali dipenjara sampai wafat pun di penjara (tahun 728 H). Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, mencurahkan rahmat yang sangat luas dan memasukkan beliau t ke dalam Surga-Nya. (Al-Bidayah wan Nihayah XIII/255, XIV/38, 141-145).
[8]. Majmu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (IV/149).




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1092&bagian=0

AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH 4-11

MAKNA AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Terkahir dari Dua Tulisan 2/2






Tentang at-Thaifah al-Manshuurah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Senantiasa ada segolongan dari umatku yang selalu dalam kebenaran menegakkan perintah Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolongnya dan orang yang menye-lisihinya sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.” [8]

Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagai-mana awalnya, maka beruntunglah bagi al-Ghuraba’ (orang-orang asing).” [9]

Sedangkan makna al-Ghuraba’ adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu 'anhu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam suatu hari menerangkan tentang makna dari al-Ghuraba’, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada yang mentaatinya.” [10]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-Ghuraba’:

“Artinya : Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya manusia.” [11]

Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) sesudah dirusak oleh manusia.” [12]

Ahlus Sunnah, at-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus Sunnah, at-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah dengan Ahlul Hadist suatu hal yang masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena penyebutan itu merupakan tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Hal ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti, ‘Abdullah Ibnul Mubarak, ‘Ali Ibnul Madiiny, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhary, Ahmad bin Sinan dan yang lainnya, Rahimahullah[13].

Imam asy-Syafi’i [14] (wafat th. 204 H) Rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha mereka.” [15]

Imam Ibnu Hazm az-Zhahiri (wafat th. 456 H) menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah, “Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah Ahlul Haq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Shahabat Radhiyallahu Ajma'in dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian Ash-habul Hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka baik di timur maupun di barat.” [16]


[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 3641) dan Muslim (no. 1037 (174)), dari Shahabat Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu.
[9]. HR. Muslim no. 145 dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[10]. HR. Ahmad (II/177, 222), Ibnu Wadhdhah no. 168. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad (VI/207 no. 6650). Lihat juga Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajas Salaf hal. 125.
[11]. HR. Abu Ja’far ath-Thahawy dalam Syarah Musykilul Atsaar (II/170 no. 689), al-Laalika-iy dalam Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah no. 173 dari Shabahat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu. Hadits ini shahih li ghairihi karena ada beberapa syawahidnya. Lihat Syarah Musykiilul Atsaar (II/170-171) dan Silsilah Ahaadits as-Shahiihah no. 1273.
[12]. HR. At-Tirmidzi no. 2630, beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dari Shabahat ‘Amr bin ‘Auf Radhiyallahu 'anhu.
[13]. Sunan at-Tirmidzi, Kitaabul Fitan no. 2229. Lihat Silsilah Ahaadits ash-Shahiihah karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany Rahimahullah (I/539 no. 270) dan Ahlul Hadits Humuth Thaifah al-Manshurah karya Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly.
[14]. Nama lengkap beliau, Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas al-Qurasyi asy-Syafi’i Rahimahullah, yang terkenal dengan sebutan Imam asy-Syafi’i, beliau punya hubungan nasab dengan anak paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang bertemu dengannya pada silsilah ‘Abdi Manaf. Beliau dilahirkan tahun 150 H. Para ulama sepakat bahwa beliau adalah orang yang tsiqah, amanah, adil, zuhud, wara’, ‘alim, faqih dan dermawan. Beliau wafat di Mesir th. 204 H dalam usia 54 tahun. Di antara kitab-kitab karya beliau adalah kitab al-Umm dalam bidang fiqih, ar-Risaalah dalam ushul fiqih dan lainnya. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (X/5-99). Untuk menge-tahui lebih jelas tentang manhaj Imam asy-Syafi’i dalam masalah ‘aqidah dapat dilihat pada kitab Manhajul Imam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah karya Dr. Muham-mad bin ‘Abdil Wahhab al-‘Aqiil, cet. I-1419 H, dalam dua jilid.
[15]. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (X/60).
[16]. Al-Fishaal fil Milaal wal Ahwaa’ wan Nihaal II/271-Daarul Jiil, Beirut





Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1106&bagian=0

AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH 3-11

MAKNA AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawa
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2





AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH ialah:

Mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah 'Alaihi Asholatu wa Sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu Ajma'in. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu Ajma'in.

As-Sunnah menurut bahasa adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk[1].

Sedangkan menurut ulama ‘aqidah, as-Sunnah adalah petun-juk yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah as-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengiku-tinya akan dipuji dan orang-orang yang menyalahinya akan dicela.[2]

Pengertian as-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbaly Rahimahullah (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashry (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’iy (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).” [3]

Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haq/kebenaran, tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah.[4]

Jama’ah menurut ulama ‘aqidah adalah generasi pertama dari umat ini, yaitu kalangan Shahabat, Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran.[5]

Kata Imam Abu Syammah as-Syafi’i Rahimahullah (wafat th. 665 H): “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya ialah ber-pegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallamj dan para Shahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka.”

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu[6]:

“ Artinya : Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.” [7]

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mem-punyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.

Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaifah al-Manshuurah (golongan yang mendapatkan pertolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), Ghuraba’ (orang asing).


[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Lisanul ‘Arab (VI/399).
[2]. Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah (hal. 16).
[3]. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam (hal. 495) oleh Ibnu Rajab, tahqiq dan ta’liq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, cet. II, Daar Ibnul Jauzy, th. 1420 H.
[4]. Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqiidah.
[5]. Syarah Khalil Hirras, hal. 61.
[6]. Seorang Shahabat Nabi j, nama lengkapnya ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib al-Hadzali, Abu ‘Abdirrahman, pimpinan Bani Zahrah. Beliau masuk Islam pada awal-awal Islam di Makkah, yaitu ketika Sa’id bin Zaid dan isterinya, Fathimah bintu Khaththab, masuk Islam. Beliau melakukan dua kali hijrah, mengalami shalat di dua kiblat, ikut serta dalam perang Badar dan perang lainnya. Beliau termasuk orang yang paling ‘alim tentang al-Qur-an dan tafsirnya sebagai-mana telah diakui oleh Nabi diakui oleh Nabi. Beliau dikirim oleh ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu ke Kufah untuk mengajar kaum muslimin dan diutus oleh ‘Utsman ke Madinah. Beliau Radhiyallahu 'anhu wafat tahun 32 H. Lihat al-Ishaabah (II/368 no. 4954).
[7]. Al-Baa’its ‘alaa Inkaaril Bida’ wal Hawaadits hal. 91-92, tahqiq oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman, Syarah Ushuulil I’tiqaad karya al-Laalika-iy no. 160.




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1105&bagian=0

AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH 2-11

KAIDAH DAN PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DALAM MENGAMBIL
DAN MENGGUNAKAN DALIL[1]


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas





[1]. Sumber ‘aqidah adalah Kitabullah (al-Qur-an), Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih dan ijma’ Salafush Shalih.

[2]. Setiap Sunnah yang shahih yang berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib diterima, walaupun sifatnya Ahad.[2]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terima-malah dia. Dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” [Al-Hasyr: 7]

[3]. Yang menjadi rujukan dalam memahami al-Qur-an dan as-Sunnah adalah nash-nash (teks al-Qur-an maupun hadits) yang menjelaskannya, pemahaman Salafush Shalih dan para Imam yang mengikuti jejak mereka, serta dilihat arti yang benar dari bahasa Arab. Namun jika hal tersebut sudah benar, maka tidak dipertentangkan lagi dengan hal-hal yang berupa kemungkinan sifatnya menurut bahasa.

[4]. Prinsip-prinsip utama dalam agama (Ushuluddin), semua telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Siapapun tidak berhak untuk mengadakan sesuatu yang baru, yang tidak ada contoh sebelumnya, apalagi sampai mengatakan hal tersebut bagian dari agama. Allah telah menyempurnakan agamaNya, wahyu telah terputus dan kenabian telah ditutup, sebagaimana Allah berfirman:

“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [Al-Maaidah : 3].

RasulullahShallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka amalan-nya tertolak” [3]

[5]. Berserah diri (taslim), patuh dan taat hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, secara lahir dan bathin. Tidak menolak sesuatu dari al-Quran dan as-Sunnah yang shahih, (baik menolaknya itu) dengan qiyas (analogi), perasaan, kasyf (iluminasi atau penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib), ucapan seorang Syaikh, ataupun pendapat imam-imam dan lainnya.

[6.] Dalil ‘aqli (akal) yang benar akan sesuai dengan dalil naqli/nash yang shahih. Sesuatu yang qath’i (pasti) dari kedua dalil tersebut, tidak akan bertentangan selamanya. Apabila sepertinya ada pertentangan di antara keduanya, maka dalil naqli (ayat ataupun hadits) harus didahulukan.

[7]. Rasulullah 'Alaihi shallatu wa sallam adalah ma’shum (dipelihara Allah dari kesalahan) dan para Shahabat Radhiyallahu ajmain secara keseluruhan dijauhkan Allah dari kesepakatan di atas kesesatan. Namun secara individu, tidak ada seorang pun dari mereka yang ma’shum. Jika ada perbedaan di antara para Imam atau yang selain mereka, maka perkara tersebut dikembalikan pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah j dengan me-maafkan orang yang keliru dan berprasangka baik bahwa ia adalah orang yang berijtihad.

[8]. Bertengkar dalam masalah agama itu tercela, akan tetapi mujadalah (berbantahan) dengan cara yang baik itu masyru‘ah (disyariatkan). Dalam hal yang telah jelas (ada dalil dan keterangannya dalam al-Quran dan as-Sunnah) dilarang berlarut-larut dalam pembicaraan panjang tentangnya, maka wajib mengikuti ketetapan dan menjauhi larangannya. Dan wajib menjauhkan diri untuk berlarut-larut dalam pembicaraan yang memang tidak ada ilmu bagi seorang muslim tentangnya (misalnya tentang Sifat Allah, qadha’ dan qadar, tentang ruh dan lainnya, yang ditegaskan bahwa itu termasuk urusan Allah Azza wa Jalla). Selanjutnya sudah selayaknya menyerahkan hal tersebut kepada Allah Azza wa Jalla.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Tidaklah sesat suatu kaum setelah Allah memberikan petunjuk atas mereka kecuali mereka berbantah-bantahan kemudian membacakan ayat: ‘...Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud mem-bantah saja...’” [Az-Zukhruf : 58] [4]

[9]. Kaum Muslimin wajib senantiasa mengikuti manhaj (metode) al-Quran dan as-Sunnah dalam menolak sesuatu, dalam hal ‘aqidah dan dalam menjelaskan suatu masalah. Oleh karena itu, suatu bid‘ah tidak boleh dibalas dengan bid’ah lagi, kekurangan tidak boleh dibalas dengan berlebih-lebihan atau sebaliknya.[5]

[10]. Setiap perkara baru yang tidak ada sebelumnya di dalam agama adalah bid‘ah. Setiap bid‘ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Setiap bid‘ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka." [6]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa‘ah (hal. 44-45), Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa‘ah fil ‘Aqiidah (hal 5-9) karya Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim al ‘Aql dan kitab-kitab lainnya.
[2]. Hadits ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat atau lebih, tetapi periwayatannya dalam jumlah yang terhitung.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718), dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha.
[4]. HR. At-Tirmidzi (no. 3250), Ibnu Majah (no. 48), Ahmad (V/252, 256), disha-hihkan oleh al-Hakim (II/447-448) dan disepakati adz-Dzahabi. At-Tirmidzi ber-kata, “Hadits ini hasan.” Dari Shahabat Abu Umamah al-Bahily Radhiyallahu 'anhu
[5]. Maksud dari pernyataan ini adalah tentang bid’ahnya Jahmiyyah yang menafikan Sifat-Sifat Allah, dibantah oleh Musyabbihah (Mujassimah) yang menyamakan Allah dengan makhluk-Nya, atau seperti bid’ahnya Qadariyyah yang mengatakan bahwa makhluk mempunyai kemampuan dan kekuasaan yang tidak dicampuri oleh kekuasaan Allah ditentang oleh Jabariyyah yang mengatakan bahwa makhluk tidak mempunyai kekuasaan dan makhluk ini dipaksa menurut pendapat mereka. Ini adalah contoh tentang bid’ah yang dilawan dengan bid’ah. Wallaahu a’lam.
[6]. HR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir Radhiyallahu 'anhu dengan sanad yang shahih. Lihat Shahih Sunan an-Nasa-i (I/346 no. 1487) dan Misykatul Mashaabih (I/51).




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1299&bagian=0

AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH 1-11

DEFINISI ‘AQIDAH


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas





‘Aqidah menurut bahasa berasal dari kata al-‘Aqdu yang berarti ikatan, at-Tautsiqu yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-Ihkamu artinya mengokohkan/ menetapkan, dan ar-rabthu biquwwah yang berarti mengikat dengan kuat.[1]

Sedangkan menurut istilah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang yang meyakininya.

Jadi, ‘Aqidah Islamiyah adalah: Keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid [2] dan ta’at kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-Malaikat-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Kitab-Kitab-Nya, hari akhir, taqdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang sudah shahih tentang Prinsip-Prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (kon-sensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut al-Qur-an dan as-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.[3]


[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1] Lisaanul ‘Arab (IX/311:) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) Rahimahullah dan Mu’jamul Wasiith (II/614:)
[2] Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ dan Shifat Allah.
[3] Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 11-12) oleh Dr. Nashir bin ‘Abdil Kariem al-‘Aqil, cet. II, Daarul ‘Ashimah-1419 H, ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 13-14) karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah oleh Dr. Nashir bin ‘Abdil Kariem al-‘Aqil.




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1074&bagian=0