Sabtu, 09 Januari 2010

Kategori Syarhu Ushulil Iman 11/11

Ahad, 24 Muharram 1431 H / 10 jan 2010

IMAN KEPADA PARA RASUL


Ar-Rusul bentuk jamak dari kata "Rasul", yang berarti orang yang diutus untuk menyampaikan sesuatu. Namun yang dimaksud "rasul" di sini adalah orang yang diberi wahyu syara' untuk disampaikan kepada umat.

Rasul yang pertama adalah nabiyullah Nuh Alaihimus Sallam, dan yang terakhir adalah nabiyullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

Allah berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami elah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya …." [An Nisaa: 163]

Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu dalam hadits syafaat menceritakan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengatakan, nanti orang-orang akan datang kepada nabi Adam untuk meminta syafaat, tetapi Nabi Adam meminta maaf kepada mereka seraya berkata, "Datangilah Nuh, rasul pertama yang diutus Allah …." [Al Bukhari]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

"Artinya : Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." [Al Ahzab:40]

Setiap umat tidak pernah sunyi dari nabi yang diutus Allah Subhanahu wa Ta'ala yang membawa syariat khusus untuk kaumnya atau dengan membawa syariat sebelumnya yang diperbarui. Allah berfirman:

"Artinya : Dan sesunguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut ."[An Nahl:36]

"Artinya : Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suaut umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan." [Fathir:24]

"Artinya : Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan itab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi …." [Al Maidah : 44]

Para rasul adalah manusia biasa, makhluk Allah yang tidak mempunyai sedikitpun keistimewaan rububiyah dan uluhiyah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagai pimpinan para rasul dan yang paling tinggi pangkatnya di sisi Allah.

"Artinya : Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak ditimpa kemudharatan, aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman." [Al A'raaf:188]

"Artinya : Katakanlah: "Sesunggguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan. Katakanlah: "Sesungguhnya aku sekali-kali tidak seorangpun yang dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung daripada-Nya." [Al Jin: 21-22]

Para rasul juga memiliki sifat-sifat kemanusiaan, seperti sakit, mati, membutuhkan makan dan minum, dan lain sebagainya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang nabi Ibrahim yang menjelaskan sifat RabbNya.

"Artinya : Dan Rabbku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dia-lah yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali)." [Asy -Syu'araa :79-81]

Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda.

"Artinya : Aku tidak lain hanyalah manusia seperti kalian. Aku juga lupa seperti kalian. Karenanya, jika aku lupa, ingatkanlah."

Allah Subhanahu wa Ta'ala menerangkan bahwa para rasul mempunyai ubudiyah (penghambaan) yang tertinggi kepada-Nya. Untuk memuji mereka, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang nabi Nuh Alaihimus Sallam.

"Artinya : Dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur." [Al Israa :3].

Allah Ta'ala juga berfirman tentang nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

"Artinya : Mahasuci Allah yang telah menurunkan Al Furqan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam." [Al Furqan:1]

Allah juga berfirman tentang nabi Ibrahim, nabi Ishaq, dan Yaqub (alaihissalam).

"Artinya : Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Yaqub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah menducikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik." [Shaad :45-47]

Allah juga berfirman tentang nabi Isa bin Maryam Alaihimus Sallam

"Artinya : Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian) dan kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuadaan Allah) untuk Bani Israil." [Az Zukhruf : 59]

Iman kepada rasul mengandung empat unsur.

[1]. Mengimani bahwa riasalah mereka benar-benar dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Barangsiapa mengingkari risalah mereka, walaupun hanya seorang, maka menurut pendapat seluruh ulama dia dikatakan kafir. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Kaum Nuh telah mendustakan para rasul." [Asy Syu'araa:105]

Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan mereka mendustakan semua rasul, padahal hanya seorang rasul saja yang ada ketika mereka mendustakannya. Oleh karena itu umat Nasrani yang mendustakan dan tidakmau mengikuti nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, berarti mereka juga telah mendustakan dan tidak mengikuti nabi Isa Al Masih bin Maryam, karena nabi Isa sendiri pernah menyampaikan kabar gembira dengan akan datangnya nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ke alam semesta ini sebagai rahmat bagi semesta alam. Kata "memberi kabar gembira" ini mengandung makna bahwa Muhammad adalah seorang rasul mereka yang menyebabkan Allah menyelamatkan mereka dari kesesatan dan memberi petunjuk kepada mereka jalan yan lurus.

[2]. Mengimani orang-orang yang sudah kita kenali nama-namanya, misalnya Muhammad,Ibrahim, Musa, Isa, dan Nuh (Alaihissalam). Kelima nabi rasul itu adalah rasul "Ulul Azmi". Allah Subhanahu wa Ta'ala telah meyebut mereka dalam dua tempat dari Al Qir'an, yakni dalam surat Al Ahzab dan surat Asy Syura.

"Artinya : Dan (ingatlah) ketika Kami megambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putera Maryam " [Al Ahzab:7]

"Artinya : Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya …." [Asy Syuura : 13]

Terhadap para rasul yang tidak dikenal nama-namanya, juga wajib kita imani secara global.

Allah berfirman.

"Artinya : Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebalum kamu, di antara mereaka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu." [Al Mu'min: 78]

[3]. Membenarkan berita-berita mereka yang benar.

[4].Mengamalkan syariat orang dari merka yang diutus kepada kita. Dia adalah nabi terakhir Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang diutus Allah kepada seluruh manusia. Allah berfirman.

"Artinya : Maka demi Robbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian merka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu kebaratan terhadfap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." [An Nisaa :65]

Buah Iman kepada Rasul-rasul

[1]. Mengetahui rahmat serta perhatian Allah kepada hamba-hamba-Nya sehingga mengutus para rasul untuk menunjuki mereka pada jalan Allah serta menjelaskan bagaimana seharusnya mereka menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena memang akal manusia tidak bisa mengetahui hal itu dengan sendirinya.

[2]. Mensyukuri nikmat Allah yang amat besar ini.

[3]. Mencintai para rasul, mengagungkannya, serta memujinya karena mereka adalah para rasul Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan karena mereka hanya menyembah Allah, menyampaikan risalah-Nya, dan menasihati hamba-Nya.

Orang-orang yang menyimpang dari kebenaran mendustakan para rasul dengan menganggap bahwa para rasul Allah bukan manusia. Anggapan yang salah ini dijelaskan Allah dalam sebuah firma-Nya.

"Artinya : Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya, kecuali perkataan mereka: "Adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi rasul?" [Al Israa : 94]

Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta'ala mematahkan anggapan mereka yang keliru. Rasul Allah dari golongan manusia karena ia akan diutus kepada penduduk bumi yang juga manusia Seandainya penduduk bumi ini malaikat, pasti Allah akan menurunkanmalaikat dari langit sebagai para rasul.

Di dalam Suarat Ibrahim Allah menceritakan orang-oraang yang mendustakan para rasul.

"Artinya : Mereka (orang-orang yang mendustakan rasul) berkata' "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi kami dari apa yang selalu disembah oleh nenek moyang kami. Karena itu, datangkanlah kepada kami bukti yang nyata." Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: "Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan ijin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal." [Ibrahim : 10-11]


[Ditulis ulang dari Syarhu Ushulil Iman, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Edisi Indonesia: Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Penerjemah: Ali Makhtum Assalamy. Penerbit: KSA Foreigners Guidance Center In Gassim Zone, halaman:40-46]




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1345&bagian=0

Kategori Syarhu Ushulil Iman 10/11

Ahad, 24 Muharram 1431 H / 10 Jan 2010

IMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH


Al-Kutub bentuk jamak dari kata "Kitab" yang berarti "sesuatu yang ditulis." Namun yang dimaksud di situ adalah kitab-kitab yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada para rasul-Nya sebagai rahmat dan hidayah bagi seluruh manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Iman kepada kitab-kitab mengandung empat unsur.

[1]. Mengimani bahwa benar-benar diturunkan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

[2]. Mengimani kitab-kitab yang sudah kita kenali namanya, seperti Al-Qur'an yang diturunkan kepada nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa Alaihimus Sallam, Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa Alaihimus Sallam, dan Zabur yang diturunkan kepada nabi Daud Alaihimus Sallam. Adapun kitab-kitab yang tidak kita ketahui namanya, kita mengimaninya secara global.

[3]. Membenarkan seluruh beritanya yang benar, seperti berita-berita yang ada di dalam Al Qur'an, dan berita-berita kitab-kitab terdahulu yang belum diganti atau belum diselewengkan.

[4]. Mengerjakan seluruh berita yang belum dinasakh (dihapus) serta rela dan menyerah pada hukum itu, baik kita memahami hikmahnya atau tidak. Seluruh kitab terdahulu telah dinasakh oleh Al Qur'anul Adhim, seperti firman-Nya.

"Artinya : Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya), dan sebagai batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu …." [Al Maidah: 48]

Oleh karena itu tidak dibenarkan mengerjakan hukum apapun dari kitab-kitab terdahulu, kecuali yang benar dan ditetapkan Al Qur'an.

Buah Iman Kepada Kitabullah

[1]. Mengetahui perhatian Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap hamba-hamba-Nya sehingga menurunkan kitab yang menjadi hidayah (petunjuk) bagi setiap kaum.

[2]. Mengetahui hikmah Allah dalam syara' atau hukum-Nya sehingga menetapkan hukum yang sesuai dengan tingkah laku setiap umat, seperti firman-Nya.

"Artinya : Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang …." [Al Maidah: 48]

[3]. Jadi mensyukuri nikmat Allah.


[Ditulis ulang dari: Syarhu Ushulil Iman, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Edisi Indonesia: Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Penerjemah: Ali Makhtum Assalamy. Penerbit: KSA Foreigners Guidance Center In Gassim Zone,halaman: 38-39]




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1212&bagian=0

Kategori Syarhu Ushulil Iman 9/11

Ahad, 24 Muharram 1431 H / 10 Jan 2010

IMAN KEPADA PARA MALAIKAT


Malaikat adalah alam gaib, makhluk, dan hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala. Malaikat sama sekali tidak memiliki keistimewaan rububiyah dan uluhiyah. Allah menciptakannya dari cahaya serta memberikan ketaatan yang sempurna serta kekuatan untuk melaksanakan ketaatan itu.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"…Artinya : dan malaikat yang ada di sisi-Nya, mereka tidak angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya." [Al Anbiyaa: 19-20]

Malaikat berjumlah banyak, dan tidak ada yang dapat menghitungnya, kecuali Allah. Dalam hadits Al Bukhari – Muslim terdapat hadits dari Anas Radhiyallahu 'Anhu tentang kisah mi'raj bahwa Allah telah memperlihatkan al Baitul Ma'mur di langit kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Di dalamnya terdapat 70.000 malaikat yang setiap hari melakukan shalat. Siapapun yang keluar dari tempat itu, tidak kembali lagi.

Iman kepada malaikat mengandung empat unsur.

[1]. Mengimani wujud mereka.

[2]. Mengimani mereka yang kita kenali nama-namanya, seperti Jibril, dan juga terhadap nama-nama malaikat yang tidak kita kenal.

[3]. Mengimani sifat-sifat mereka yang kita kenali, seperti sifat bentuk Jibril, sebagaimana yang pernah dilihat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang mempunyai 600 sayap yang menutup ufuk.

Malaikat bisa saja menjelma berwujud seorang lelaki, seperti yang pernah terjadi pada malaikat Jibril tatkala Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutusnya kepada Maryam. Jibril menjelma jadi seorang yang sempurna. Demikian pula ketika Jibril datang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, sewaktu beliau sedang duduk di tengah-tengah para sahabatnya. Jibril datang dengan bentuk seorang lelaki yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat tanda-tanda perjalanannya, dan tidak seorang sahabatpun yang mengenalinya. Jibril duduk dekat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, menyandarkan kedua lututnya ke lutut Nabi dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya. Ia bertanya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang Islam, iman, ihsan, hari kiamat, dan tanda-tandanya. Setelah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab seluruh pertanyaannya, Jibril pergi. Setelah tidak di situ lagi, barulah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjelaskan kepada para sahabatnya, "Itu adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan agama kalian."

Demikian halnya dengan para malaikat yang diutus kepada nabi Ibrahim dan Luth. Mereka menjelma bentuk menjadi lelaki.

[4]. Mengimani tugas-tugas yang diperintahkan Allah kepada mereka yang sudah kita ketahui, seperti bacaan tasbih, dan menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala siang-malam tanpa merasa lelah.

Di antara mereka ada yang mempunyai tugas-tugas tertentu misalnya.

[1]. Malaikat Jibril yang dipercayakan menyampaikan wahyu Allah kepada para nabi dan rasul.

[2]. Malaikat Mikail yang diserahi tugas menurunkan hujan dan tumbuh-tumbuhan.

[3]. Malaikat Israfil yang diserahi tugas meniup sangkakala di hari kiamat dan kebangkitan makhluk.

[4]. Malaikat maut yang diserahi tugas mencabut nyawa orang.

[5]. Malaikat yang diserahi tugas menjaga neraka.

[6]. Para malaikat yang diserahi janin dalam rahim. Ketika sudah mencapai empat bulan di dalam kandungan, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus malaikat untuk meniupkan ruh dan menyuruh untuk menulis rezekinya, ajalnya, amalnya, derita, dan bahagianya.

[7]. Para malaikat yang diserahi menjaga dan menulis semua perbuatan manusia. Setiap orang dijaga oleh dua malaikat, yang satu pada sisi dari kanan dan yang satunya lagi pada sisi dari kiri.

[8]. Para malaikat yang diserahi tugas menanyai mayit. Bila mayit sudah dimasukkan ke dalam kuburnya, maka akan datanglah dua malaikat yang bertanya kepadanya tentang Robbnya, agamanya, dan nabinya.

Buah Iman Kepada Malaikat.

[1]. Mengetahui keagungan Allah, kekuatan-Nya, dan kekuasaan-Nya. Kebesaran makhluk pada hakikatnya adalah dari keagungan sang Pencipta.

[2]. Syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala atas perhatian-Nya terhadap manusia sehingga menugasi malaikat untuk memelihara, mencatat amal-amal dan berbagai kemashlahatannya yang lain.

[3]. Cinta kepada para malaikat karena ibadah yang mereka lakukan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ada orang yang tersesat mengingkari keberadaan malaikat. Mereka mengatakan bahwa malaikat ibarat "kekuatan kebaikan" yang tersimpan pada makhluk-makhluk. Ini berarti tidak mempercayai Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan ijma' (konsensus) umat Islam. Allah berfirman.

"Artinya : Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." [Faathir:1]

"Artinya : Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata): "Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar," (tentulah kamu akan merasa ngeri)." [Al Anfaal:50]

"…Artinya : Alangkah dasyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratul maut, sedangkan para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarlah nyawamu …" [Al An'am :93]

"…Artinya : Sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata: "Apakah yang telah difirmankan oleh Robbmu?" Mereka menjawab: "(Perkataan) yang benar," dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Benar." [Saba':23]

"…Artinya : Malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan): "Salamun 'alaikum bima shabartum (salam sejahtera kepadamu dengan kesabaranmu)." Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu." [Ar Ra'd: 23-24]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda.

"Artinya : Apabila Allah mencintai seorang hamba-Nya, Ia memberi tahu Jibril bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mencintai Fulan, dan menyuruh Jibril untuk mencintainya, maka Jibrilpun mencintainya. Jibril lalu memberi tahu penghuni langit bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mencintai Fulan dan menyuruh mereka juga untuk mencintainya, maka penghuni langitpun mencintainya. Kemudian ia diterima di atas bumi." [Al Bukhari]

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda.

"Artinya : Di setiap hari Jum'at pada setiap pintu masjid para malaikat mencatat satu demi satu orang yang datang. Bila imam sudah duduk (di atas mimbar) mereka menutup buku-bukunya dan datang untuk mendengarkan dzikir (khutbah)."

Dari nash-nash ini tampak jelas bahwa para malaikat itu benar-benar ada, bukan kekuatan maknawi yang terdapat dalam diri manusia seperti yang disangka orang-orang sesat. Nash-nash tersebut telah disepakati umat Islam.


[Disalin dari kitab Syarhu Ushulil Iman, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Edisi Indonesia: Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Penerjemah: Ali Makhtum Assalamy. Penerbit: KSA Foreigners Guidance Center In Gassim Zone, halaman:33-37]




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=978&bagian=0

Kategori Syarhu Ushulil Iman 8/11

Ahad, 24 Muharram 1431 H / 10 Jan 2010

IMAN KEPADA ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA



[4] Mengimani Asma dan Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Iman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala yakni menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam kitab suci-Nya atau sunnah rasul-Nya dengan cara yang sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa tahrif (penyelewengan), ta'thil (penghapusan), takyif (menanyakan bagaimana?), dan tamsil (menyerupakan).

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Allah mempunyai asmaaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjaklan." [Al A'raaf: 180]

"Artinya : … Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." [An Nahl : 60]

"Artinya : … Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." [Asy Syuura : 11]

Dalam perkara ini ada dua golongan yang tersesat, yaitu:

[1]. Golongan Muaththilah, yaitu mereka yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah atau mengingkari sebagiannya saja. Menurut perkiraan mereka, menetapkan nama-nama dan sifat itu kepada Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan), yakni penyerupaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan makhluk-Nya.

Pendapat ini jelas keliru karena:

[a]. Sangkaan itu akan mengakibatkan hal-hal yang bathil atau salah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan untuk diri-Nya nama-nama dan sifat-sifat, serta telah menafikan sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikata menetapkan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbullkan adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam kalam Allah serta sebagian firman-Nya akan menyalahi sebagian yang lain.

[b]. Kecocokan antara dua hal dalam nama atau sifatnya tidak mengharuskan adanya persamaan. Anda melihat ada dua orang yang keduanya manusia, mendengar, melihat, dan berbicara, tetapi tidak harus sama dalam makna-makna kemanusiaannya, pendengarannya, poenglihatannya, dan pembicaraannya. Anda juga melihat beberapa binatang yang punya tangan, kaki, dan mata, tetapi kecocokannya itu tidak mengharuskan tangan, kaki, dan mata mereka sama. Apabila antara makhlluk-makhluk yang cocok dalam nama atau sifatnya saja jelas memiliki perbedaan, maka tentu perbedaan antara Khaliq (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.

[2]. Golongan Musyabbihah, yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat, tetapi menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan makhlulk-Nya. Mereka mengira hal ini sesuai dengan nash-nash Al Qur'an, karena Allah berbicara dengan hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahaminya. Anggapan ini jelas keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain:

[a]. Menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu yang bathil, menurut akal maupun syara'. Padahal tidak mungkin nash-nash kitab suci Al Qur'an dan Sunnah rasul menunjukkan pengertian yang bathil

[b]. Allah Ta'ala berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahami dari segi asal maknanya. Hakikat makna sesuatu yang berhubungan dengan zat dan sifat Allah adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah saja.

Apabila Allah menetapkan untuk diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar, maka pendengaran itu sudah maklum dari segi maknanya, yaitu menemukan suara-suara. Tetapi hakikat hal itu dinisbatkan kepada pendengaran Allah tidak maklum, karena hakikat pendengaran jelas berbeda, walau pada makhluk sekalipun. Jadi perbedaan hakikat itu antara Pencipta dan yang diciptakan jelas lebih jauh berbeda.

Apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitakan tentang diri-Nya bahwa
Dia bersemayam di atas Arasy-Nya, maka bersemayam dari segi asal maknanya sudah maklum, tetapi hakikat bersemayamnya Allah itu tidak
dapat diketahui.

Buah Iman kepada Allah:

[1]. Merealisasikan pengesaan Allah Subhanahu wa Ta'ala sehingga tidak menggantungkan harapan kepada selain Allah, tidak takut kepada yang lain, dan tidak menyembah kepada selain-Nya.

[2]. Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah, serta mengagungkan-Nya sesuai dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang Maha
Tinggi.

[3] Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan apa yang diperintah serta menjauhi apa yang dilarang-Nya.


[Disalin dari kitab Syarhu Ushulil Iman, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. EdisiIndonesia: Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Penerjemah: Ali Makhtum Assalamy. Penerbit: KSA Foreigners Guidance Center In Gassim Zone, halaman: 30-32]




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=891&bagian=0

Kategori Syarhu Ushulil Iman 7/11

Ahad, 24 Muharram 1431 H / 10 Jan 2010

IMAN KEPADA ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA

Bagian Ketiga dari Empat Tulisan [3/4]



[3]. Mengimani Uluhiyah Allah Subhanahu Wa Ta'ala

Artinya, benar-benar mengimani bahwa Dia-lah ilah yang benar dan satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Al-Ilah artinya "al ma'luh", yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan melainkan Dia. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." [Al Baqarah: 163]

" Artinya : Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." [Ali Imran: 18]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang Lata, Uzza, dan Manat yang disebut sebagai Tuhan, namun tidak diberi hak uluhiyah.

Allah Ta'ala berfirman.

"Artinya : Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya …." [An Najm : 23]

Setiap sesuatu yang disembah selain Allah, uluhiyahnya adalah batil.

Allah Ta'ala berfirman.

" Artinya : (Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah,
Dia-lah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru
selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar." [Al Hajj : 62]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman tentang Nabi Yusuf yang berkata kepada dua temannya di penjara.

"Artinya : Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?
Kamu tidak mkenyembah yang selain Allah, kecuali hanya (menyembah)
nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak
menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu …." [Yususf : 40]

Oleh karena itu para rasul alaihimussalam berkata kepada kaum-kaumnya:

"Artinya : Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan
selain daripada-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?"
[Al Mu'minuun : 32]

Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil tuhan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka menyembah meminta bantuan dan pertolongan kepada tuhan-tuhan itu dengan menyekutukan Allah.

Pengambilan tuhan-tuhan yang dilakukan orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah dengan dua bukt i:

[a]. Tuhan-tuhan yang diambil tidak mempunyai keistimewaan uluhiyah sedikitpun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat menarik kemanfaatan, tidak dapat menolak bahaya, tidak memiliki hidup dan mati, tidak memiliki sedikitpun dari langit dan tidak pula ikut memiliki keseluruhannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfaatanpun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan." [Al Furqan: 3]

"Artinya : Katakanlah: "Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah, melainkan bagi rang yang telah diijinkan-Nya memperoleh syafaat …." [Saba': 22-23]

"Artinya : Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala- erhala itu tidak dapat memberi pertolongan." [Al A'raaf : 191-192]

Kalau demikian keadaan tuhan-tuhan itu, maka sungguh sangat tolol dan sangat batil bila menjadikan mereka sebagai ilah dan tempat meminta pertolongan.

[b]. Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah satu-satunya Robb, Pencipta, yang di tangan-Nya kekuasaan segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dia-lah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat melindungi-Nya. Ini mengharuskan pengesaan uluhiyah (penghambaan), seperti mereka mengesakan rububiyah (ketuhanan) Allah.

Allah Ta'ala berfirman:

"Artinya : Hai manusia, sembahlah Robbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui." [Al Baqarah: 21-22]

" Artinya : Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang
menciptakan mereka?", niscaya mereka menjawab: "Allah". Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?" [Az-Zukhruf : 87]

" Artinya : Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab, "Allah." Maka katakanlah: "Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?" Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Robb kamu yang sebenarnya. Tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?" [Yunus: 31-32]


[Ditulis ulang dari: Syarhu Ushulil Iman, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Edisi Indonesia: Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Penerjemah: li Makhtum Assalamy. Penerbit: KSA Foreigners Guidance Center In Gassim Zone,halaman: 26-30]




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=847&bagian=0

Kategori Syarhu Ushulil Iman 6/11

Ahad, 24 Muharram 1431 H /10 Jan 2010

IMAN KEPADA ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA

Bagian Kedua dari Empat Tulisan [2/4]



[2]. Mengimani Rububiyah Allah Subhanahu wa Ta'ala

Mengimani rububiyah Allah Subhanahu wa Ta'ala maksudnya mengimani sepenuhnya bahwa Dia-lah Robb satu-satunya, tiada sekutu dan tiada penolong bagi-Nya.

Robb adalah yang berhak menciptakan, memiliki serta memerintah. Jadi tidak ada Pencipta selain Allah, tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada perintah selain perintah dari-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:

"Artinya : …Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanya hak Allah. Mahasuci Allah, Robb semesta Allah." [Al A'raaf : 54]

"Artinya : … Yang (berbuat) demikian itulah Allah Robbmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari." [Faathir : 13]

Tidak ada makhluk yang mengingkari kerububiyahan Allah Subhanahu wa Ta'ala, kecuali orang yang congkak sedang ia tidak meyakini kebenaran ucapannya, seperti yang dilakukan Fir'aun ketika berkata kepada kaumnya. "Akulah tuhanmu yang paling tinggi." [An Naazi'at : 24], dan juga ketika berkata, "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku." [Al Qashash : 38]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan mereka padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya." [An Naml : 14]

Nabi Musa berkata kepada Fir'aun: "Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Robb Yang Memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir'aun, seorang yang akan binasa." [Al Israa': 102]

Oleh karena itu, sebenarnya orang-orang musyrik mengakui rububiyah Allah, meskipun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah (penghambaan). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab, "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?" Katakanlah: "Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertaqwa?" Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala ssesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dililndungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?" [Al Mu'minuun: 84-89]

"Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka akan menjawab, "Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui." [Az Zukhruf : 9]

"Artinya : Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka?", niscaya mereka menjawab: "Allah", maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?" [Az-Zukhruf : 87]

Perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala mencakup perintah alam semesta (kauni) dan perintah syara' (syar'i). Dia adalah pengatur alam, sekaligus sebagai pemutus perkara, sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Dia juga pemutus peraturan-peraturan ibadah serta hukum-hukum muamalat sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Oleh karena itu barangsiapa menyekutukan Allah dengan seorang pemutus ibadah atau pemutus muamalat, maka dia berarti telah menyekutukan Allah serta tidak mengimani-Nya.


[Disalin dari kitab Syarhu Ushulil Iman, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Edisi Indonesia: Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Penerjemah: Ali Makhtum Assalamy. Penerbit: KSA Foreigners Guidance Center In Gassim Zone, halaman: 24-26]




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=798&bagian=0

Kategori Syarhu Ushulil Iman 5/11

Ahad, 24 Muharram 1431 H / 10 Jan 2010

IMAN KEPADA ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA

Bagian Pertama dari Empat Tulisan [1/4]
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Iman kepada Allah mengandung empat unsur:

[A] Mengimani Wujud Allah Subhanahu wa Ta'ala

Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara', dan indera.

[1]. Bukti fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan fitrah ini, kecuali orang yang di dalam hatinya terdapat sesuatu yang dapat memalingkannya.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

" Artinya : Semua bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi" [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

[2]. Adapun bukti akal tentang wujud Allah adalah proses terjadinya semua makhluk, bahwa semua makhluk, yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin menciptakan dirinya sendiri, dan tidak pula tercipta secara kebetulan. Tidak mungkin wujud itu ada dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat menciptakan dirinya sendiri. Sebelum wujudnya tampak, berarti tidak ada.

Semua makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan karena setiap yang diciptakan pasti mebutuhkan pencipta. Adanya makhluk-makhluk itu di atas undang-undang yang indah, tersusun rapi, dan saling terkait dengan erat antara sebab-musababnya dan antara alam semesta satu sama lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuatu yang ada secara kebetulan, pada awalnya pasti tidak teratur.

Kalau makhluk tidak dapat menciptakan diri sendiri, dan tercipta secara kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Robb semesta alam.

Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan dalil aqli (akal) dan dalil qath'i dalam surat Ath Thuur:

" Artinya : Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?" [Ath Thuur: 35]

Dari ayat di atas tampak bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa pencipta, dan makhluk tidak menciptakan dirinya sendiri. Jadi jelaslah, yang menciptakan makhluk adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ketika Jubair bin Muth'im mendengar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang tengah membaca surat Ath Thuur dan sampai kepada ayat-ayat ini:

"Artinya : Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun, atukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Robbmu atau merekakah yang berkuasa?" [Ath Thuur: 35-37]

Ia, yang tatkala itu masih musyrik berkata, "Hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku." [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Dalam hal ini kami ingin memberikan satu contoh. Kalau ada seseorang berkata kepada Anda tentang istana yang dibangun, yang dikelilingi kebun-kebun, dialiri sungai-sungai, dialasi oleh hamparan karpet, dan dihiasi dengan berbagai perhiasan pokok dan penyempurna, lalu orang itu mengatakan kepada Anda bahwa istana dengan segala kesempurnaannya ini tercipta dengan sendirinya, atau tercipta secara kebetulan tanpa pencipta, pasti Anda tidak akan mempercayainya, dan menganggap perkataan itu adalah perkataan dusta dan dungu. Kini kami bertanya kepada Anda, masih mungkinkah alam semesta yang luas ini beserta apa-apa yang berada di dalamnya tercipta dengan sendirinya atau tercipta secara kebetulan?!

[3]. Bukti syara' tentang wujud Allah Subhanahu wa Ta'ala bahwa seluruh kitab langit berbicara tentang itu. Seluruh hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Robb Yang Maha Bijaksana dan Mengetahui segala kemaslahatan makhluknya. Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti bahwa kitab-kitab itu datang dari Robb Yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa yang dibeitakan itu.

[4]. Bukti inderawi tentang wujud Allah Subhanahu wa Ta'ala dapat dibagi menjadi dua:

[a] Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang berdoa serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Allah berfirman:

" Artinya : Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa, dan Kami memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar." [Al Anbiya: 76]

" Artinya : (Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu : “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut" [Al Anfaal: 9]

Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu berkata, "Pernah ada seorang Badui datang pada hari Jum'at. Pada waktu itu Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tengah berkhotbah. Lelaki itu berkata' "Hai Rasul Allah, harta benda kami telah habis, seluruh warga sudah kelaparan. Oleh karena itu mohonkanlah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk mengatasi kesulitan kami." Rasulullah lalu mengangkat kedua tanganya dan berdoa. Tiba-tiba awan mendung bertebaran bagaikan gunung-gunung. Rasulullah belum turun dari mimbar, hujan turun membasahi jenggotnya. Pada Jum'at yang kedua, orang badui atau orang lain berdiri dan berkata, "Hai Rasul Allah, bangunan kami hancur dan harta bendapun tenggelam, doakanlah akan kami ini (agar selamat) kepada Allah." Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya, seraya berdoa: "Ya Robbku, turunkanlah hujan di sekeliling kami dan jangan Engkau turunkan sebagai bencana bagi kami." Akhirnya beliau tidak mengisyaratkan pada suatu tempat kecuali menjadi terang (tanpa hujan)." [Hadits Riwayat Al Bukhari]

[b]. Tanda-tanda para nabi yang disebut mukjizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang wujud Yang Mengurus para nabi tersebut, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena hal-hal itu berada di luar kemampuan manusia, Allah melakukannya sebagai pemerkuat dan penolong bagi para rasul.

Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa 'Alaihimus Sallam untuk memukul laut dengan tongkatnya, Musa memukulkannya, lalu terbelahlah laut itu menjadi dua belas jalur yang kering, sementara air di antara jalur-jalur itu menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung. Allah berfirman.

"Artinya : Lalu Kami wahyukan kepada Musa: "Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.: Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar." [Asy Syu'araa: 63]

Contoh kedua adalah mukjizat Nabi Isa 'Alaihimus Sallam ketika menghidupkan orang-orang yang sudah mati; lalu mengeluarkannya dari kubur dengan ijin Allah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

" Artinya : … dan aku menghidupkan orang mati dengan seijin Allah …." [Ali Imran: 49]

"Artinya : … dan (ingatlah) ketika kamu mengeluarkan orang mati dari kuburnya (menjadi hidup) dengan ijin-Ku …." [Al Maidah :110]

Contoh ketiga adalah mukjizat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika kaum Quraisy meminta tanda atau mukjizat. Beliau mengisyaratkan pada bulan, lalu terbelahlah bulan itu menjadi dua, dan orang-orang dapat menyaksikannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang hal ini.

"Artinya : Telah dekat (datangnya) saat (kiamat) dan telah terbelah pula bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrik) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata: "(Ini adalah) sihir yang terus-menerus." [Al-Qomar: 1-2]

Tanda-tanda yang diberikan Allah, untuk memperkuat para rasulNya dan sebagai pertolongan atas mereka, menunjukkan dengan pasti akan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.


[Disalin dari kitab Syarhu Ushulil Iman, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Edisi Indonesia: Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Penerjemah: Ali Makhtum Assalamy. Penerbit: KSA Foreigners Guidance Center In Gassim Zone, halaman: 19-24]




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=765&bagian=0

Kategori Syarhu Ushulil Iman 4/11

Ahad, 24 Muharram 1431 H / 10 Jan 2010

RUKUN ISLAM


Islam didirikan atas lima dasar, sebagaimana yang tersebut dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma:

" Artinya : Islam didirikan atas lima dasar, yakni: [1] Bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. [2] mendirikan shalat. [3] mengeluarkan zakat. [4] puasa ramadhan dan [5] beribadah haji." [Hadits Riwayat.Bukhari-Muslim]

[1]. Kesaksian tidak ada tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah merupakan keyakinan yang mantap, yang diekspresikan dengan lisan. Dengan kemantapannya itu, seakan-akan dapat menyaksikan-Nya.

Syahadah (kesaksian) merupakan satu rukun padahal yang disaksikan itu ada dua hal, ini dikarenakan Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam adalah mubaligh (penyampai) sesuatu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jadi, kesaksian bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah merupakan kesempurnaan kesaksian: "Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah."

Atau, karena kesaksian (syahadatain) itu merupakan dasar sah dan diterimanya semua amal. Amal tidak sah dan tidak akan diterima bila tidak dilakukan dengan keikhlasan terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dengan tidak mengikuti manhaj rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Ikhlas kepada Allah terealisasi pada kesaksian "tiada tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah." Mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam terealisasi pada kesaksian "bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya."

Buah syahadah (kesaksian) yang terbesar ialah membebaskan hati dan jiwa dari penghambaan terhadap makhluk serta tidak mengikuti selain para rasul-Nya.

[2]. Mendirikan shalat artinya menyambut Allah dengan mengerjakan shalat secara istiqamah serta sempurna, baik waktu maupun caranya.

Salah satu buah atau hikmah shalat adalah mendapat kelapangan dada, ketenangan hati, dan menjauhi diri dari perbuatan keji dan mungkar.

[3]. Mengeluarkan zakat artinya, menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan menyerahkan kadar yang wajib dari harta-harta yang harus dikeluarkan zakatnya.

Salah satu hikmah mengeluarkan zakat adalah membersihkan jiwa dan moral yang buruk, yaitu kekikiran serta dapat menutupi kebutuhan Islam dan umat Islam.

[4]. Puasa Ramadhan artinya menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan cara meninggalkan hal-hal yang dapat membatalkannya di siang hari di bulan Ramadhan. Salah satu hikmahnya ialah melatih jiwa untuk meninggalkan hal-hal yang disukai karena mencari ridha Allah Azza wa Jalla.

[5]. Beribadah haji ke baitullah (rumah Allah), artinya menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan menuju ke Al Baitul Haram (rumah suci) untuk mengerjakan syiar atau manasik haji.

Salah satu hikmahnya adalah melatih jiwa untuk mengerahkan segala kemampuan harta dan jiwa agar tetap taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Oleh karena itu haji merupakan salah satu macam jihad fisabilillah.

Hikmah-hikmah rukun Islam, baik yang sudah kami sebutkan maupun yang belum kami sebutkan akan dapat menjadikan umat sebagai umat yang suci, bersih, beragama yang benar, dan memperlakukan manusia dengan penuh keadilan serta kejujuran. Kebaikan syariat-syariat Islam yang lain tergantung kepada kebaikan dasar-dasar ini. Kebaikan umatpun tergantung pada kebaikan agamanya, dan hilangnya kebaikan tingkah laku umatpun akan tergantung pada kadar hilangnya kebaikan agamanya.

Bagi yang ingin mengetahui penjelasan ini, silakan menyimak firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya:

" Artinya : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga) Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah, kecuali
orang-orang yang merugi." [Al A'raf :96-99]

Untuk lebih jelasnya hendaklah Anda pelajari sejarah orang-orang terdahulu kita, karena dalam sejarah terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal dan bagi orang yang hatinya "bersih" (tidak ada hijab yang menutupi hatinya).


[Disalin dari kitab : Syarhu Ushulil Iman, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Edisi Indonesia: Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Penerjemah: Ali Makhtum Assalamy. Penerbit: KSA Foreigners Guidance Center In Gassim Zone, halaman:14-16]




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=721&bagian=0

Kategori Syarhu Ushulil Iman 3/11

Ahad, 24 Muharram 1431 H / 10 Jan 2010


PRINSIP AKIDAH ISLAM


Aqidah Islam dasarnya adalah iman kepada Allah, iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dasar-dasar ini telah ditunjukkan oleh Kitabullah dan sunnah rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

Allah berfirman dalam kitab suci-Nya.

"Artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebaktian, akan tetapi sesunggunya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi ." [Al-Baqarah: 177]

Dalam soal takdir, Allah berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran, dan
perintah Kami hanyalah sesuatu menurut ukuran, dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata." [Al-Qomar: 49-50]

Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga bersabda dalam sunnahnya sebagai jawaban terhadap malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman:

" Artinya : Iman adalah engkau mengimani Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kemudian, dan mengimani takdir yang baik dan yang buruk." [Hadits Riwayat Muslim]



[Disalin dari kitab Syarhu Ushulil Iman, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Edisi Indonesia: Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Penerjemah: Ali Makhtum Assalamy. Penerbit: KSA -Foreigners Guidance Center In Gassim Zone, halaman: 17-18]




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=747&bagian=0

Kategori Syarhu Ushulil Iman 2/11

Ahad, 24 Muharram 1431 H

PENDAHULUAN

SYARHU USHULIL IMAN [PRINSIP-PRINSIP DASAR KEIMANAN]


Segala puji Allah. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, serta bertobat kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan-kejahatan diri serta perbuatan-perbuatan buruk kami. Barangsiapa telah diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada satupun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan Allah, tidak ada satupun yang dapat menunjukinya. Aku bersaksi, tidak ada Tuhan selain Tuhan yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Selamat sejahtera semoga melimpah kepadanya, kepada keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya.

Sesungguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan paling agung kedudukannya. Setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui, dan memahami ilmu tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala, tentang asma-asma-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas hamba-Nya.

Ilmu tauhid juga merupakan kunci jalan menuju Allah Subhanahu wa Ta'ala serta dasar syariat-Nya. Oleh karena itu para rasul bersepakat untuk mendakwahkannya kepada seluruh umat manusia.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." [Al Anbiyaa: 25].


Allah Subhanahu wa Ta'ala menyaksikan keesaan pada diri-Nya. Demikian juga para malaikat dan ahli ilmu.

Allah berfirman :

"Artinya : Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." [Ali Imran : 18]

Jika ilmu tauhid sedemikian pentingnya, maka setiap muslim tentu wajib memperhatikannya dengan mempelajari dan mengajarkan, dengan berfikir dan beritikad agar dapat mendirikan dienullah di atas dasar yang benar, serta untuk menenangkan jiwa dan mendapatkan kebahagiaan sebagai buah dan hasilnya.


[Disalin dari kitab Syarhu Ushulil Iman, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Edisi Indonesia: Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Penerjemah: Ali Makhtum Assalamy. Penerbit: KSA Foreigners Guidance Center In Gassim Zone, halaman:7-8]




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=702&bagian=0

Kategori Syarhu Ushulil Iman 1/11

Ahad, 24 Muharram 1431 H / 10 Jan 2010

AGAMA ISLAM

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dengan Islam, Allah mengakhiri serta menyempurnakan agama-agama lain untuk para hamba-Nya. Dengan Islam pula, Allah menyempurnakan kenikmatan-Nya dan meridhoi Islam sebagai diennya. Oleh karena itu tidak ada lain yang patut diterima, selain Islam.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi …."[Al-Ahzab:40]

" Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu …." [Al Maidah : 3]

"Artinya : Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…." [Ali Imran : 19]

" Artinya : Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi" [Ali Imran : 85]

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mewajibkan seluruh umat manusia agar memeluk agama Islam karena Allah. Hal ini sebagaimana telah difirmankan-Nya kepada rasul-Nya.

“Artinya : Katakanlah ; "Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. Tidak ada Tuhan selain Dia. Yang menghidupkan dan mematikan. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk." [Al A'raaf : 158]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu dikatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Artinya : Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak seorangpun dari umat ini, Yahudi maupun Nashrani, yang mendengar tentangaku, kemudian mati tidak mengimani sesuatu yang aku diutus karenanya, kecuali dia termasuk penghuni neraka." [Hadits Riwayat Muslim]

Mengimani Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam artinya membenarkan dengan penuh penerimaan dan kepatuhan terhadap segala yang dibawanya, bukan hanya membenarkan semata. Oleh karena itulah Abu Thalib (paman Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam) dikatakan bukan orang yang mengimani Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, walaupun ia membenarkan apa yang dibawa oleh keponakannya itu dan dia juga mengakui bahwa Islam adalah agama yang terbaik.

Agama Islam mencakup seluruh kemaslahatan yang dikandung oleh agama-agama terdahulu. Islam mempunyai keistimewaan, yaitu relevan untuk setiap masa, tempat dan umat.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada rasul-Nya.

"Artinya : Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab itu …." [Al Maidah :48]

Islam dikatakan relevan untuk setiap masa, tempat dan umat, maksudnya adalah berpegang teguh pada Islam tidak akan menghilangkan kemaslahatan umum di setiap waktu dan tempat. Bahkan dengan Islam, umat akan menjadi baik. Tetapi bukan berarti Islam tunduk pada waktu, tempat dan umat, seperti yang dikehendaki sebagian orang.

Agama Islam adalah agama yang benar. Allah menjamin kemenangan kepada orang yang memegangnya dengan baik. Hal ini dikatakan-Nya dalam firman-Nya.

"Artinya : Dia-lah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai." [At Taubah : 33]

"Artinya : Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhoi-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." [An Nuur : 55]

Agama Islam merupakan aqidah dan syariat. Islam adalah agama yang sempurna dalam aqidah dan syariat, karena:

[1]. Memerintahkan bertauhid dan melarang syirik.
[2]. Memerintahkan bersikap jujur dan melarang berbuat bohong/dusta.
[3]. Memerintahkan berbuat adil[1] dan melarang perbuatan lalim.
[4]. Memerintahkan untuk bersikap amanat dan melarang khianat.
[5]. Memerintahkan untuk menepati janji dan melarang ingkar janji.
[6]. Memerintahkan untuk berbakti kepada ibu-bapak serta melarang
menyakitinya.
[7]. Memerintahkan bersilaturahmi/menyambung hubungan dengan kerabat
dekat,sertamelarang memutuskannya.
[8]. Memerintahkan berbuat baik dengan tetangga dan melarang berbuat
jahat kepada mereka.

Secara umum Islam memerintahkan agar bermoral baik dan melarang bermoral buruk. Islam juga memerintahkan setiap perbuatan baik, dan melarang perbuatan yang buruk.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." [An Nahl : 90]


[Disalin dari kitab : Syarhu Ushulil Iman, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Edisi Indonesia: Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Penerjemah: Ali Makhtum Assalamy. Penerbit: KSA Foreigners Guidance Center In Gassim Zone, halaman : 9-13]
_________
Foote Note
[1] Adil artinya menyamakan yang sama dan membedakan yang berbeda, bukan persamaan secara mutlak seperti yang dikatakan sebagian orang yang mengatakan bahwa Islam adalah agama persamaan yang mutlak. Menyamakan hal-hal yang berbeda merupakan kelaliman yang tidak dianjurkan oleh Islam, dan pelakunyapun tidak terpuji.




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=703&bagian=0