Sabtu, 31 Juli 2010

AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH 8-11

PENJELASAN KAIDAH-KAIDAH DALAM MENGAMBIL DAN MENGGUNAKAN DALIL


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Pertama dari Lima Tulisan 1/5





Penjelasan Kaidah Kedua :

“Setiap Sunnah Yang Shahih Yang Berasal Dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Wajib Diterima, Walaupun Sifatnya Ahad.”


Hadits Ahad ialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir atau tidak memenuhi sebagian dari syarat-syarat mutawatir [1].

Para ulama dari ummat ini pada setiap generasi, baik yang mengatakan bahwa hadits ahad menunjukkan ilmu yakin maupun yang berpendapat bahwa hadits ahad menunjukkan zhann, mereka berijma’ (sepakat) atas wajibnya mengamalkan hadits Ahad. Tidak ada yang berselisih di antara mereka melainkan kelompok kecil yang tidak masuk hitungan, seperti Mu’tazilah dan Rafidhah [2].

Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi Rahimahullah mengatakan. “Ketahuilah, bahwa penelitian yang kita tidak boleh menyimpang dari hasilnya adalah bahwa hadits Ahad yang shahih harus diamalkan untuk masalah-masalah Ushuluddin, sebagaimana ia diambil dan diamalkan untuk masalah-masalah hukum/furu’. Maka, apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sanad yang shahih mengenai Sifat-Sifat Allah, wajib diterima dan diyakini dengan keyakinan bahwa sifat-sifat itu sesuai dengan ke-Mahasempurnaan dan ke-Mahaagungan-Nya sebagaimana firman-Nya:

“Artinya : ...Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Mahamendengar lagi Mahamelihat.” [Asy-Syuura’: 11]

Dengan demikian, anda menjadi tahu bahwa penerapan para ahli kalam dan pengikutnya bahwa hadits-hadits Ahad itu tidak bisa diterima untuk dijadikan dalil dalam masalah-masalah aqidah seperti tentang Sifat-Sifat Allah, karena hadits-hadits Ahad itu tidak menunjukkan kepada hal yang yakin melainkan kepada zhann (dugaan) sementara masalah ‘aqidah itu harus mengandung keyakinan. Ucapan mereka itu adalah bathil dan tertolak. Dan cukuplah sebagai bukti dari kebathilannya bahwa pendapat ini mengharuskan menolak riwayat-riwayat shahih yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdasarkan hukum akal semata.” [3].

Rasulullah 'Alaihi wa sholatu wa sallam adalah pemakai bahasa Arab terbaik dan terfasih, beliau telah dikaruniai jawami’ul kalim (kemampuan mengungkap kalimat ringkas dengan makna yang padat, kalimat sarat makna) dan ditugaskan untuk menyampaikannya. Dengan begitu, tidaklah dapat dibayangkan -baik secara syar’i maupun ‘aqli- bahwa beliau j akan membiarkan masalah ‘aqidah menjadi samar dan penuh syubhat, sebab ‘aqidah merupakan bagian terpenting dari seluruh rangkaian ajaran agama. Sehingga bila beliau menje-laskan masalah furu’ secara detail, mustahil beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukan hal yang sama pada masalah ushul (pokok).

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sudah menjelaskan masalah ushul (‘aqidah) dengan detail (rinci) dengan sejelas-jelasnya, karena itu seorang muslim wajib menerima apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallm meskipun derajat haditsnya adalah ahad, tidak mencapai mutawatir. Imam Ahmad Rahimhullah berkata: “Barangsiapa yang menolak hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallm, maka ia berada di tepi jurang kebinasaan.”



[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Lihat an-Nukat ‘alaa Nuzhatun Nazhar Syarah Nukhbatul Fikr (hal. 70) oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Atsary.
[2]. Lihat Manhaj Imam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/112) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdil Wahhab al-‘Aqiil.
[3]. Ibid (I/113-114).
[4]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal 28) oleh Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, cet. II-Daarus Sunnah, 1414 H.




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1323&bagian=0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar